Catatan Rizal Effendi
GUBERNUR Kaltim Haji Rudy Mas’ud yang akrab dipanggil HARUM sepertinya agak pusing. Penciumannya terhadap penyusunan RAPBD Kaltim 2026 bakal tidak terlalu harum. Padahal ini tahun pertama dia bisa pol terlibat penyusunan APBD sesuai visi misinya. Itu gara-gara ada kebijakan efisiensi dan pemangkasan yang dilaksanakan Pemerintah Pusat, yang memukul sektor pendapatan daerah
Dari informasi yang berkembang Pemerintah Pusat akan memangkas besaran Transfer ke Daerah (TKD) hingga 50 persen. Bahkan Ketua DPRD Kaltim Hasanuddin Mas’ud memperkirakan bisa sampai 75 persen. Malah angka terakhir disebut-sebut 78 sampai 80 persen. “Tentu ini bukan hal biasa karena kondisi fiskal kita pasti sangat sulit,” ungkapnya.
Berdasarkan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2026 yang baru saja disepakati, belanja pembangunan Kaltim dipatok Rp21,3 triliun. Sementara dari sisi pendapatan, Rp10,75 triliun bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Rp9,33 triliun dari TKD dan Rp362 miliar dari pendapatan lain-lain.
Kalaulah nanti TKD dipangkas separo atau sampai dua pertiga, maka TKD yang diterima Kaltim hanya berkisar 2 sampai 4 triliun saja. Itu berarti APBD Kaltim 2026 bakal terjun bebas dan besarannya bisa sekitar Rp15 triliunan saja. “Berat untuk menopang pembangunan,” kata Sekdaprov Sri Wahyuni selaku ketua Tim Anggaran Pemprov.
Bayangkan apa yang terjadi? Padahal Gubernur HARUM sudah punya rencana banyak termasuk program andalan yaitu Gratispol. “Dengan kondisi seperti ini, naga-naganya program gratispol bakal kada (tidak) bisa pol di tahun depan,” kata seorang anggota Dewan menganalisis.
Kebijakan pemangkasan dari Pemerintah Pusat merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam APBN sebagai langkah Pemerintah Pusat mengendalikan beban fiskal nasional.
Sebagai pengetahuan, TKD adalah dana dari APBN yang dialokasikan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk membiayai berbagai kegiatan layanan publik, mendukung penyelenggaraan urusan pemerintahan, serta untuk mendorong perekonomian daerah. Hampir semua daerah di Indonesia napas APBD-nya sangat tergantung dari TKD, mengingat sumber pendapatan lainnya terutama PAD belum bisa diandalkan sepenuhnya.
Untuk diketahui, beberapa jenis TKD itu di antaranya Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Otonomi Khusus (DOK), Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Dana Desa. Selain itu ada juga Dana Insentif Daerah (DID).
DOK dan Dana Keistimewaan bukan untuk Kaltim. Sebagian besar daerah mengandalkan DBH dan DAU serta DAK. Tapi yang paling besar tentu saja DBH.
Penyaluran DBH dilakukan berdasarkan prinsip Based on Actual Revenue. Maksudnya adalah penyaluran DBH berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan (Pasal 23 UU 33/2004).
DBH terbesar bagi Kaltim tentu dari DBH Sumber Daya Alam (SDA) terutama migas dan tambang lainnya. Kemudian DBH Perkebunan Kelapa Sawit dan DBH Pajak.
Hanya saja Kaltim sudah lama mengeluh dan mengajukan protes. Sebab DBH Migas terbesar porsinya hanya diberikan kepada Aceh dan Papua. Alasannya politik. Karena kedua daerah itu sering teriak merdeka.
Kalau tidak salah kedua daerah tersebut mendapat bagian DBH gas 60 persen dan minyak 30 persen. Sedang Kaltim bersama daerah penghasil lainnya mendapat DBH gas 30 persen dan minyak 15,5 persen.
Tidak Gampang dan Kandas
Perjuangan melawan “ketidakadilan pembagian DBH” sudah lama dilakukan Kaltim. Seingat saya tuntutan itu sudah terdengar nyaring pada era Gubernur Suwarna AF dan Awang Faroek Ishak. Sampai ada narasi ancaman “Kaltim Merdeka.” Tapi hasilnya tetap saja tak sesuai harapan. Perjuangan Kaltim kandas di tengah jalan.
Era Gubernur Isran Noor semangat itu dibangun lagi. Malah Isran “menasionalkan” perjuangan Kaltim. Dia tidak saja menuntut porsi Kaltim yang lebih besar, malah minta agar porsi TKD ke daerah lebih besar dari jatah Pemerintah Pusat. Maunya di balik 40:60. Alasan dia selain itu prinsip desentralisasi dan otonomi daerah, juga rakyat terbesar ada di daerah. Jadi wajar kalau uang APBN seharusnya lebih banyak dikirim ke daerah ketimbang dikelola Pusat.
Mengantisipasi rencana pemangkasan TKD, beberapa waktu lalu digelar dialog publik dengan pemrakarsa Forum Rakyat Kaltim Bersatu (FRKB) yang diketuai Edy Sofyan. Sejumlah tokoh Kaltim bicara. Di antaranya Irianto Lambrie, Farid Wajdy, Andi Sofyan Hasdam, Yulianus Henock, Sarkowi V Zahry, Aji Sofyan, dan Syafrudin. Nadanya sama: Tidak rela Kaltim diperlakukan seperti daerah lain.

Di forum tersebut Gubernur HARUM juga kencang bicara soal pemotongan TKD. “Kaltim tidak menolak kebijakan nasional, tetapi pemotongan TKD jangan sampai mengorbankan kebutuhan dasar masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan pelayanan umum lainnya,” katanya begitu. Lalu dia meminta Pemerintah Pusat memberikan perlakuan khusus kepada Kaltim. Alasannya karena Kaltim adalah salah satu penyumbang terbesar penerimaan negara terutama dari sektor sumber daya alam.
Ini diperkuat dengan data yang disampaikan Wagub Seno Aji. “Kontribusi Kaltim hampir seribu triliun rupiah dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jadi pemotongan TKD seharusnya tidak diberlakukan seragam kepada semua daerah seperti Kaltim,” tandasnya.

Hasil dari dialog tersebut di antaranya Kaltim meminta Pemerintah Pusat memberikan pertimbangan yang berbeda, logis dan faktual berkaitan dengan pelaksanaaan PMK 56 atau kebijakan pemangkasan TKD.
Alasannya karena kontribusi hasil SDA Kaltim yang sangat besar mengisi kantong pendapatan nasional. Selain juga posisi Kaltim yang saat ini semakin strategis dengan ditetapkannya Ibu Kota Nusantara (IKN) di Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU).
Sementara itu, peserta dialog juga mendorong dilakukannya optimalisasi PAD dengan mendapatkan sumber penerimaan daerah yang baru, optimalisasi alur Sungai Mahakam, revitalisasi dan maksimalisasi kontribusi perusahaan daerah, pembangunan pelabuhan internasional dan peningkatan investasi.

Sejauh ini Kaltim dan daerah lainnya secara resmi belum mendapat kepastian berapa sebenarnya angka pemangkasan yang diberlakukan Pemerintah Pusat kepada Daerah. “Masih kita tunggu di hari-hari ini,” kata Gubernur HARUM.
Di tengah menunggu kepastian angka TKD 2026, progres perolehan DBH untuk Kaltim 2025 juga terasa seret. Menurut Sri Wahyuni, dalam APBD Perubahan angka DBH dipatok Rp6,97 triliun, namun hingga akhir September 2025 tadi realisasinya baru mencapai Rp3,96 triliun atau sekitar 56,9 persen.
Wagub Seno Aji kepada Jurnalborneo.com mengatakan, pihak Pemprov bersama Pemkot dan Pemkab se-Kaltim dalam waktu dekat ini akan ngeluruk ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di Jakarta untuk meminta kebijakan pemangkasan diberlakukan lebih proporsional.
“Sebagai daerah penghasil devisa besar kita berharap ada perubahan dalam sistem bagi hasil yang lebih adil dan bisa diterima semua daerah,” pungkasnya.
Sebelum tim Pemprov Kaltim “menyerbu” Jakarta, ada sedikit kabar yang menggembirakan. Datangnya dari Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang baru. Dia bilang pemerintah membuka peluang untuk menambah TKD.
“Mungkin akan kita tambah Rp43 triliun untuk semua daerah. Saya pikir cukup. Nanti kita lihat di triwulan pertama tahun depan. Kalau membaik dan uang negara lebih banyak, maka sebagian akan kita transfer lagi ke daerah,” kata Purbaya yang kini populer dengan gaya cowboy-nya.
Tapi Purbaya mengingatkan daerah sekaligus sebagai syarat penambahan TKD. Yaitu penyerapan anggaran di daerah harus baik dan bersih. “Kalau mereka bisa menunjukkan penyerapan yang baik dan bersih, saya bisa merayu atasan saya untuk menambah lebih cepat lagi,” kata Menkeu dalam bahasa agak menggoda.(*)