Oleh Dr. Hartono
Dosen STAIS Kutai Timur dan Direktur Esekutif Politica & Social Studies Institut (PSS Institut)
Barangkali menjadi pemandangan umum, disetiap masa kampaye baik legeslatif maupun esekutif para kandidat mencoba menyampaikan program yang dibalut dengan janji-janjinya.
Dalam kajian ilmu politik “janji-janji politik” sah dilakukan untuk mengaet dan meyakinkan para konstituenya, namun demikian janji-jani politik barangkali perlu dilihat dari perspektif yang lebih luas yakni etika politik.
Ukuran etik menjadi krusial sebab politik atau politisi yang baik seyogyanya hadir sebagai negarawan yang menghadirkan gagasan, ide dan konsep.
Memahami politik dalam perspektif yang luas sesungguhnya sederhana sekali, setiap hari dan waktu sejatinya manusia berpolitik sebab itu Aristoteles meyebut manusia sebagai zoon politicon.
Zoon politicon yakni istilah untuk meyebut mahluk sosial, zoon adalah hewan dan politicon adalah masyarakat. Kodratnya hewan (manusia) yang tercerahkan melalui logos/akal menghendaki adanya interaksi dan perkumpulan satu sama yang lain, dengan pemahaman tersebut maka menjadilah manusia politik.
Dari manusia politik, kemudian gagasan apa yang dibawa, ide apa yang ingin disampaikan dan konsep apa yang akan dilakukan itulah mustinya yang mampu dihadirkan oleh para politisi yang bertarung. Karenaya, politisi yang memiliki cara pandang luas, bersikap negarawan dan mengabdi untuk kepentingan rakyat adalah sebuah keniscayaan.
Dalam qoidah fikih yang sering dikutip oleh mendingang Gus Dur kurang lebih pesanya “keberhasilan seorang pemimpin atas yang dipimpin diukur melalui kemampuanya memberi maslahah”.
Kemaslahatan inilah dalam politik modern menurut teori kehendak umum yang digagas oleh Rousseau menjadi acuan utama. Rousseau menegaskan baahwa keharusan bagi para pemimpin untuk bisa mengambil dan memetakan kebijakan-kebijakan strategis dan populis, bukan sebaliknya kebijakan yang menguntungkan diri, kelompok atau golonganya.
Dengan pendekatan tersebut maka tidak ada lagi istilah saya tidak diperhatikan, saya dianak tirikan dan saya bukan kelompoknya melainkan inilah kebijakan publik yg benar-benar dibutuhkan oleh rakyatnya secara meyeluruh.
Politik Gagasan
Politik gagasan menurut Djavadi Hanan merupakan politik yang mengedepankan ide-ide dan konsep yang ingin diperjuangkan. Sebab itu, dalam politik gagasan tidak mempermasalahkan latar belakang sepanjang gagasanya bagus dan diterima oleh masyarakat.
Namun demikian, politik gagasan sampai hari ini masih menemukan kendala dan sulit berkembang di Indonesia karena masih terkungkung oleh para elit politik dan masyarakat dengan prgmatismenya.
Pragmatisme dalam membaca situasi dan peluang bisa jadi memiliki pembenaran untuk membangun tatanan yang baik, namun jika politik hanya untuk kepentingan sesaat, kemenangan sesaat ini yang sama sekali tidak memberikan pendidikan politik yang baik.
Pekerjaan rumah bersama, politik gagasan sudah semestinya hadir dan dilihat sebagai investasi jangka panjang untuk menghasilkan berbagai kebijakan yang dapat memberikan dan menghasilkan nilai positif di masyarakat.
Inilah sesungguhnya esensi dari sistem demokrasi yang kita pilih bersama dalam menata perpolitikan yang ada.
Politik Transaksional
Kemudian bagaimana dengan politik transaksional yang terlalu kentara dan nampak ditengah-tengah hiruk pikuk disetiap pemilu. Barangkali ini menjadi koreksi mendalam bagi para politisi untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat luas.
Terdengar sayup-sayup, dari para legislator “para politisi tak akan pernah meyogok, memberi janji, transaksi manakala masyarakat tidak memulainya untuk meminta-minta dst”, hemat penulis ini logika yang salah kaprah sebab andalah yang butuh suara dari rakyat, sebab itu tawarkanlah gagasan, ide dan konsep yang baik dan tepat untuk pembangunan kedepan lebih baik. Jangan pula berlindung dari ketidak mampuan calon karena kapabilitas yang minim dan aseptabilitas yang rendah kemudian mencari jalan pintas dengan cara-cara pragmatis.
Maka menjadi clusul pembenar, jika politik prgmatis-transaksional tersebut sebagai perwujudan politik pencitraan, politik liftik dan politik ijon. Dimana kesemuanya hanya menampilkan gestur politik tanpa memperhatikan subtansi politik yang baik.
Jangan sampai rakyat bersikap apatis atas pemimpin-pemimpinya sebab pemimpin yang terpilih ternyata tidak memberikan efek apapun kecuali mengahabiskan angaran negara yang begitu besar.
Kasus penangkapan oleh KPK terhadap beberapa kepala daerah juga mengindikasikan bahwa politik sesaat dan politik transaksional masih subur sampai detik ini.
Kedepan, harapanya kita mampu menghadirkan politisi dengan sosok-sosk negarawan diantara kita sehingga negara ini tak salah asuh dan urus. Kita membutuhkan politisi yang memiliki, gagasan, ide dan konsep serta visi yang jelas untuk meuwujudkan kemaslahatan bersama.
Cukuplah kiranya sistem demokrasi yang kita pilih sejak 98 sampai hari ini mendewasakan cara berpolitik kita, jangan sampai das sollen dan das sein memiliki jurang kesenjangan yang luar biasa.(*)