KUTAI TIMUR – Seorang karyawan PT Pama Persada Nusantara mengajukan pengaduan resmi kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Kutai Timur terkait kebijakan penggunaan jam tangan OPA (Operator Performance Assessment) yang dinilai melanggar hak-hak pekerja.

Edi Purwanto, operator PT Pama Persada Nusantara, warga Sangatta Utara ini, secara resmi menyampaikan keluhan melalui surat tertanggal 08 Oktober 2025. Menurutnya, dampak kebijakan tersebut berbuah SP 3 yang belum lama ini diterimanya dari perusahaan.

Ditemui seusai memberikan surat pengaduan tersebut ke Disnaker Kutim, Edi menjelaskan bahwa sistem monitoring melalui jam tangan OPA yang memantau aktivitas selama 24 jam menimbulkan dampak signifikan terhadap kehidupan pribadi dan hak asasi pekerja.

“Penggunaan jam tangan OPA yang memantau aktivitas 24 jam terasa melanggar privasi dan hak asasi manusia, terutama dalam hal mengatur kehidupan pribadi di luar jam kerja,” tulis Purwanto dalam suratnya.

Ia pun mengungkapkan telah mengalami kerugian finansial akibat sistem ini. Mulai bulan Mei hingga saat ini, dia dipulangkan dari tempat kerja karena kualitas tidur yang tercatat dalam sistem OPA dianggap tidak mencukupi.

Sebagai ayah dari bayi dan kepala keluarga, Purwanto menjelaskan bahwa pola tidur tidak teratur akibat merawat bayi di malam hari memengaruhi hasil monitoring OPA, yang berdampak langsung pada penghasilannya.

“Jika anak kita yang masih bayi terbangun saat tengah malam, apakah kita tidak dibolehkan untuk membantu istri mengurus anak? Tapi disisi lain saat jam tidur saya terganggu dampaknya adalah jam tidur tidak terpenuhi dan saya tidak bisa masuk kerja,” ucapnya.

Dalam pengaduannya, Purwanto meminta Disnaker Kutai Timur untuk melakukan investigasi terhadap kebijakan penggunaan jam tangan OPA di PT Pama Persada Nusantara. Dengan tujuan agar penerapan sistem OPA dapat lebih manusia dan tidak kamu dengan mempertimbangkan kondisi pekerja.

Selain itu lanjutnya ia juga meminta agar Disnakertrans Kutim memberikan edukasi kepada perusahaan mengenai hak-hak pekerja dan keseimbangan kehidupan kerja-pribadi dan menetapkan panduan yang jelas mengenai batas-batas monitoring pekerja yang tidak melanggar hak asasi manusia.

“Saya juga meminta agar pihak pemerintah melalui Disnakertrans Kutim memediasi antara pekerja dan perusahaan untuk menemukan solusi yang adil dan seimbang. Kenapa ini saya minta? Karena bukan hanya saya pastinya yang terdampak dengan peraturan sistem OPA ini,” tegasnya.

Ia juga menyampaikan bahwa surat pengaduan yang dilayangkannya tersebut juga ditembuskan kepada berbagai pihak, termasuk Presiden RI, Ketua DPR RI, Menteri Tenaga Kerja RI, Ketua Komnas HAM, hingga pemerintah daerah Kalimantan Timur dan Kutai Timur.

“Sebagai pekerja, saya sadar kekuatan saya untuk meminta keadilan sangatlah tipis dibanding oligarki. Tapi setidaknya saya berusaha untuk tetap berjuang dengan segala daya yang saya mampu untuk memperjuangkan apa yang saya yakini,” tegasnya.

Sebelumnya, Pertemuan mediasi antara manajemen PT Pamapersada Nusantara (PAMA) diwakili Dept Head IT/OPA, Zainul; Ketua Serikat Pekerja (SP) PT PAMA Site KPCS, Edi Nur Cahyono; dengan karyawan Heri Irawan di Dinas Transmigrasi Ketenagakerjaan (Distransnaker) Kutai Timur berlangsung mulai 14.00 hingga 15.00 WITA pada Sabtu, 30 September 2025 berakhir tanpa hasil.

Mediasi ini membahas soal keberatan Operator PAMA, Heri Irawan yang dikenai sanksi skorsing Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh manajemen perusahaan lantaran menolak diberlakukannya jam OPA (Operator Personal Assistant) terhadap karyawan tertentu.

“Dalam pertemuan tadi, ada saran kepada manajemen untuk saya dipekerjakan kembali. Itu saja intinya. Sedangkan PAMA masih keukeuh tetap PHK dengan case ditujukan pada saya menolak jam OPA. Mereka menganggap saya menolak perintah perusahaan,” tegas Heri Irawan kepada wartawan usai mengikuti mediasi.

Heri mengungkapkan bahwa ia menolak penggunaan jam OPA terhadap karyawan karena dianggap sebagai pelanggan Hak Asasi Manusia (HAM). Karena penggunaannya di luar jam kerja. Selain itu juga menurutnya tidak tercantum dalam perjanjian kerja bersama.

“Tadi saya sampaikan juga bahwa pekerjaan ya pekerjaan, di rumah ya di rumah. Kalau masalah pekerjaan, saya akan taat pada aturan perusahaan, PKB (Perjanjian Kerja Bersama), PP (Peraturan Perusahaan) dan apapun itu. Tapi ketika saya di luar saya juga akan tunduk pada aturan undang-undang,” tegas Heri Irawan.

Jika penggunaan jam OPA itu tetap diberlakukan dan statusnya sebagai karyawan dikenai sanksi skorsing PHK, Heri berencana membawa persiapan ini ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

“Kalau saya pribadi, saya tetap mau sampai ke pengadilan. Karena saya anggap itu saya benar. Makanya saya berdiri pada pendirian saya. Lagi pula, dalam PKB sama sekali tak diatur penggunaan jam OPA. Di PKB tidak ada tertulis jam OPA,” jelasnya.

“Kalau sepengetahuan saya sih infonya tadi saya dengar itu sudah 100 persen, tapi pada aktualnya ada beberapa orang yang masih belum pakai jam OPA. Seperti operator yang bawa alat berat. Tapi kalau operator dump truk, semua pakai,” bebernya.

Setahu dia, jam OPA diujicobakan sejak 2019. Tapi baru diterapkan 2024.
“Untuk percobaan itu kalau enggak salah dari 2019. Realisasi mungkin di 2024,” ungkapnya. (Q)

Loading