
KUTAI TIMUR – Ketua BADKO HMI Kalimantan Timur-Kalimantan Utara (Kaltimtara), Ashan Putra Pradana, mengkritik keras pengadaan sepatu pantofel senilai Rp1,4 miliar di Sekretariat Daerah Kutai Timur yang dinilai sebagai pemborosan anggaran APBD.
Ashan menilai pengadaan sepatu pantofel untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) tersebut tidak produktif dan tidak mendukung peningkatan kinerja. Ia mempertanyakan substansi dari pengadaan tersebut, mengingat ASN sudah menerima berbagai tunjangan dan fasilitas dari pemerintah.
“ASN kan sudah diberikan semua fasilitas. Tunjangan, gaji 13 dan lain-lain itu kan bukan bentuk daripada memudahkan kinerja ASN. Kenapa harus ada pantofel? Ketahuan betul dong kalau ASN ini enggak mampu membeli biar sepatu pantofel,” kritiknya, Sabtu (07/6/2025).
Ia menyarankan agar anggaran Rp1,4 miliar tersebut dialokasikan untuk hal yang lebih produktif dan bermanfaat bagi masyarakat. Dirinya mencontohkan untuk pembangunan baik di tingkat desa ataupun program lainnya yang urgensinya lebih tinggi.
“Kalau bahasa kasar saya mending kita belikan susu anak-anak atau makanan yang bergizi buat anak-anak. Nah, itu jauh lebih produktif,” tambahnya sambil menekankan pentingnya prioritas anggaran yang tepat sasaran.
Selain sepatu pantofel, dia juga mempersoalkan pengadaan tas ransel dan handuk dengan nominal yang cukup besar mencapai ratusan juta rupiah. Dalam kondisi di tengah badai efisiensi yang ada sekarang ini, pengadaan seperti itu kurang layak dilakukan. Ia juga mempertanyakan logika pengadaan tas ransel untuk pegawai.
“Ada juga tas ransel. Ya kan? buat apa coba? Kira-kira tas itu bisa menghasilkan program enggak?” Mau semi militer? Jangan juga karena presiden itu alumni militer mau kemudian harus beli ransel gitu.Itu layak enggak sebenarnya? Ya, kalau saya ya, saya berpandangan menurut saya itu buang-buang anggaran,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa Kutai Timur masih menghadapi berbagai permasalahan sosial ekonomi yang memerlukan perhatian serius di berbagai sisi. Banyaknya pengangguran dan progres pembangunan menjadi contoh yang diutarakannya.
“Emangnya semua warga kita itu pekerja tambang? Tidak. Emangnya semua itu pegawai di Setkab? Tidak. Bagaimana taraf pendidikannya? Itu yang harusnya jadi konsen pemerintah. Atau lebih baik anggaran sepatu itu dialokasikan untuk bagaimana meningkatkan kesejahteraan pendidikan. Itu baru mantap,” pungkasnya.
Dikonfirmasi sebelumnya terkait permasalahan tersebut, Ketua DPRD Kutim Jimmi menilai pemberian bantuan sepatu pantofel bukan merupakan sesuatu yang wajib. Berbeda dengan seragam kerja.
“Bukan sesuatu yang wajib ya. Tapi enggak tahu kalau ada aturan terkait pengadaan itu,” ujarnya.
Ketua DPRD Kutim ini pun mengaku tidak mendapat informasi mengenai pengadaan ini dari pihak eksekutif. Jimmi menekankan pentingnya dasar hukum dalam setiap pengadaan barang dan jasa pemerintah.
“Enggak dapat. Jadi enggak, anu aja ke ini umum perlengkapan umum aja. Kalau emang aturannya ada enggak apa-apa. Kita hidup bernegara bekerja sebagai pegawai negara kan harus ada dasar,” tegasnya.
Saat ditanya mengenai kesesuaian pengadaan dengan program efisiensi pemerintah, Jimmi menyatakan bahwa pengadaan semacam itu seharusnya menjadi bagian yang dikurangi dalam rangka efisiensi anggaran. Jimmi meminta agar pihak terkait menjelaskan dasar dan kepastian hukum pengadaan tersebut.
“Tanya kepastiannya dasar mereka untuk mengadakan itu apa? Kalau memang legal ya enggak ada masalah,” pungkasnya.
Merujuk pada RUP Penyedia dalam portal web https://sirup.lkpp.go.id, diketahui Sekretariat Daerah Kutai Timur melakukan pengadaan sepatu pantofel senilai Rp1.445.200.000 dengan sistem E-Purchasing. Nominal pada pengadaan dengan kode RUP 57157546 tersebut digunakan untuk pengadaan 620 pasang sepatu yang berbahan Suede dan Nubuck. Pengumuman paket tersebut telah dilaksanakan pada 13 Februari 2025.
Sedangkan untuk tas kerja model Ransel senilai Rp750.260.100 dengan sistem E-Purchasing dengan kode RUP 53921635 dengan jumlah 2570 buah tas. (Q)