KUTAI TIMUR – Herlang, mantan anggota DPRD Kutai Timur yang kini menjabat sebagai Ketua Gerakan Anti Narkoba Kutim, mendesak pemerintah untuk menertibkan kendaraan bermuatan berlebih yang merusak jalan dan mengancam keselamatan pengguna jalan lain.

Tokoh masyarakat ini mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi jalan di Kutai Timur yang terus mengalami kerusakan akibat dilalui kendaraan dengan muatan hingga 60 ton, padahal menurut UU No. 22 Tahun 2009, beban maksimal yang diperbolehkan hanya 10 ton.

“Banyak pengaduan masyarakat yang jatuh dan tersenggol karena kerusakan jalan. Ini tidak terjadi keseimbangan antara jalan dengan beban yang lewat,” ujar Herlang dalam wawancara di Kutai Timur, Senin (2 Juni 2025).

Herlang yang bersama rekan-rekannya sempat melakukan perbaikan jalan secara swadaya, menyatakan bahwa kondisi ini sangat mengancam keselamatan pengguna jalan. Karena menurutnya, dengan dimensi kendaraan terlebih yang mengangkut alat berat dengan panjang dan lebar yang memakan lebih dari separuh jalan.

Kondisi ini juga diperparah dengan seringnya terjadi lakalantas yang melibatkan kendaraan dengan dimensi dan muatan yang melebihi tonase dan berdampak pada masyarakat secara umum. Ia mencontohkan kondisi melintangnya unit yang membawa alat berat belum lama ini yang diduga akibat gagal menanjak di Jalan Poros Sangatta-Samarinda beberapa waktu lalu.

“Kasihan masyarakat yang tengah mengejar jam keberangkatan pesawat, karena pasti tertunda, karena proses evakuasinya juga memakan waktu. Belum lagi terkait masalah lainnya yang tentunya masyarakat sangat terdampak,” katanya.

Sebagai solusi, Herlang mengusulkan pemanfaatan pelabuhan-pelabuhan yang tersedia di Kutai Timur, seperti pelabuhan KPC, Maloy, dan pelabuhan milik perusahaan besar lainnya untuk pengangkutan alat berat. Selain itu penggunaan dermaga dermaga swasta juga bisa dilakukan.

“Kutai Timur punya pantai terpanjang dan banyak pelabuhan. Kalau ini dipikirkan bersama-sama, bisa menjadi terobosan baru untuk PAD dan rekrutmen tenaga kerja. Selain milik perusahaan ada juga pelabuhan swasta yang dikelola masyarakat yang bisa dimanfaatkan seperti pelabuhan Damanka dan Teluk Prancis,” jelasnya.

Menurutnya, pengangkutan melalui laut juga lebih ekonomis. Biaya angkut 50 ton melalui darat dengan truk 22 ban mencapai Rp50-60 juta, sementara melalui laut hanya sekitar Rp24-25 juta.

Herlang mengkritik kinerja Dinas Perhubungan yang dinilai belum efektif dalam mengawasi kendaraan bermuatan berlebih. Pengaturan jam lewat yang dilakukan saat ini dianggapnya bukan solusi yang tepat.

“Yang lewat itu bukan solusi. Undang-undang jelas mengatakan lebih dari 10 ton tidak boleh lewat. Jembatan timbang harus ada karena itu sumber PAD,” tegasnya.

Ia juga menyoroti dampak terhadap citra Kutai Timur sebagai daerah penyangga Ibu Kota Nusantara (IKN). “Siapa yang mau datang kalau lewat darat stres? Siapa yang mau berkunjung wisata kalau jalannya terguncang-guncang?” tanyanya.

Herlang berencana mengangkat permasalahan ini dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan DPRD Provinsi Kalimantan Timur dan Gubernur. Ia telah menyampaikan aspirasi ini kepada DPR dan mendapat respons dari staf Komisi III yang akan mengatur waktu pertemuan.

Kondisi jalan yang rusak ini bukan hanya merugikan secara finansial, tetapi juga mengancam nyawa pengguna jalan. Herlang menekankan bahwa masyarakat yang membayar pajak berhak mendapat jalan yang layak, sementara kendaraan bermuatan berlebih tidak memberikan kontribusi apapun untuk pemeliharaan infrastruktur.

“Kalau sampai RDPU gagal atau belum direspons pemerintah, kita akan lakukan langkah-langkah selanjutnya. Tidak boleh undang-undang dilanggar begitu saja,” ancamnya.(Q)

Loading