Dr. Hartono

Dosen STAI Sangatta Kutai Timur

Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila, momen penting saat Bung Karno pada tahun 1945 di depan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menyampaikan gagasan dasar negara yang kelak dikenal dengan nama Pancasila. Sejak saat itu, Pancasila bukan sekadar hasil rumusan filosofis, melainkan juga menjadi ideologi pemersatu bangsa yang sangat majemuk ini.

Namun, memasuki abad ke-21 yang penuh dinamika dan keterbukaan global, posisi Pancasila dihadapkan pada tantangan baru. Era globalisasi, disrupsi teknologi, identitas digital, dan polaritas politik telah menguji daya tahan dan relevansi Pancasila. Dalam konteks ini, penting untuk merefleksikan kembali: bagaimana Pancasila tetap menjadi jangkar persatuan di tengah zaman yang terus berubah?

Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa memuat nilai-nilai yang bersifat inklusif, universal, dan transformatif. Kelima sila mencerminkan nilai dasar yang melampaui perbedaan agama, suku, budaya, dan kelas sosial.

Sebagai ideologi terbuka, Pancasila mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, tanpa kehilangan jati dirinya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, Indonesia memiliki 275 juta penduduk, terdiri dari >1.300 suku bangsa, 6 agama resmi serta puluhan aliran kepercayaan dan 17.000 pulau yang tersebar luas. Dalam realitas yang sangat beragam ini, Pancasila berfungsi sebagai “common platform” yang mempersatukan.

Pancasila memuat lima sila utama: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut tidak hanya merupakan dasar negara, tetapi juga panduan moral, arah kebijakan, serta etika sosial dalam kehidupan bersama.

Sebagai ideologi terbuka, Pancasila memiliki kemampuan beradaptasi dengan perkembangan zaman. Ia tidak kaku, tetapi juga tidak boleh ditinggalkan. Dalam sejarahnya, Pancasila terbukti mampu menjadi perekat di tengah keberagaman suku, agama, ras, dan golongan. Namun, di abad ke-21, tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia semakin kompleks dan memerlukan respons yang bijak untuk mempertahankan relevansi dan kekuatan nilai-nilai Pancasila.

1. Globalisasi dan Budaya Asing
Globalisasi membuka batas-batas negara. Informasi, produk budaya, dan nilai-nilai asing masuk begitu cepat ke Indonesia melalui internet, media sosial, dan produk hiburan. Generasi muda Indonesia kini lebih mengenal budaya populer asing ketimbang tradisi dan nilai lokal.

Di sinilah muncul tantangan utama: bagaimana Pancasila tetap menjadi fondasi identitas nasional di tengah derasnya penetrasi budaya global? Tanpa fondasi nilai yang kuat, generasi muda bisa terombang-ambing antara identitas lokal dan pengaruh luar. Nilai-nilai seperti gotong royong, toleransi, dan keadilan sosial kerap kali terpinggirkan oleh arus individualisme dan konsumerisme global.

2. Radikalisme dan Intoleransi
Salah satu tantangan berat yang dihadapi Pancasila adalah meningkatnya paham radikalisme dan intoleransi. Menurut data BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) tahun 2023, masih ada potensi penyebaran ideologi kekerasan dan eksklusivisme agama yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Gerakan radikal yang tidak mengakui keberagaman, menolak dasar negara, dan ingin mengganti ideologi Pancasila menjadi ancaman nyata terhadap persatuan bangsa. Ini menunjukkan pentingnya memperkuat kembali nilai Pancasila, khususnya sila ke-3, yaitu Persatuan Indonesia.

3. Disrupsi Teknologi dan Polarisasi Digital
Teknologi digital membawa kemajuan luar biasa, tetapi juga membawa tantangan dalam bentuk disinformasi, ujaran kebencian, dan polarisasi di ruang publik digital. Media sosial, yang seharusnya menjadi sarana komunikasi positif, kerap kali digunakan untuk menyebarkan hoaks dan memperuncing perbedaan pandangan politik, agama, dan budaya.

Menurut We Are Social dan Hootsuite (2024), sebanyak 212 juta warga Indonesia aktif menggunakan internet, dan lebih dari 95% di antaranya menggunakan media sosial setiap hari. Ini artinya, ruang digital menjadi medan pertempuran ideologi dan opini, yang jika tidak dikawal dengan nilai-nilai Pancasila, bisa memicu perpecahan.

Pancasila bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga tuntunan masa depan. Di tengah globalisasi, ancaman ideologi transnasional, dan kemajuan teknologi yang cepat, Pancasila tetap menjadi pijakan utama bangsa Indonesia dalam menjaga persatuan dan kedaulatan moralnya.

Tugas kita bukan hanya memperingati Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni, tetapi menghidupkan nilai-nilainya dalam keseharian: dalam keluarga, sekolah, media sosial, tempat kerja, hingga ruang politik dan kebijakan. Hanya dengan itulah, Pancasila akan tetap berdiri tegak sebagai ideologi pemersatu dan penuntun bangsa menuju masa depan yang berdaulat, adil, dan bermartabat.

Loading