
Oleh: Dimas Priagung Banar, M.Pd
Dosen Universitas PGRI Banyuwangi dan aktivis pemberdayaan pemuda desa
SAYA ingin mengajak kita semua untuk merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: mengapa desa masih dipandang sebagai pinggiran dalam peta pembangunan Indonesia? Mengapa stigma “desa tertinggal” masih mengakar kuat di benak kita?
Sebagai akademisi yang lahir dan besar di lingkungan pedesaan, saya menyaksikan bagaimana perubahan sosial akibat demografi, globalisasi teknologi, dan modernisasi telah mengubah wajah desa. Namun sayangnya, perubahan ini seringkali hanya dilihat dari kacamata negatif – urbanisasi, degradasi budaya lokal, dan ketergantungan pada kota.
Sudah saatnya kita mengubah paradigma ini. Melalui analisis kritis yang saya lakukan bersama rekan-rekan sesama pemuda desa, saya menemukan fakta mengejutkan: potensi alam dan kekuatan pemuda dengan hasil karya kerja kerasnya justru banyak terlahir dari desa.
Tiga pilar yang saya yakini dapat mengubah wajah ekonomi desa adalah pendidikan, teknologi, dan kolaborasi. Ketiganya bukan lagi mimpi utopis, melainkan kebutuhan mendesak yang harus segera direalisasikan.
Edukasi dan pelatihan menjadi kunci pembuka akses informasi. Kemampuan menggunakan teknologi – baik mesin tradisional maupun digital modern – adalah jembatan yang menghubungkan desa dengan pasar global. Sementara kolaborasi aktif antara pemuda, warga, pemerintah, dan sektor industri akan menciptakan ekosistem ekonomi yang berkelanjutan.
Momentum Emas 2025: Kesempatan yang Tak Boleh Terlewat
Tahun 2025 adalah momentum emas bagi pemuda desa. Mengapa? Karena teknologi-teknologi baru dan modernisasi yang muncul di lingkungan kita adalah kesempatan emas untuk berpikir dan mengambil peluang menjadi orang sukses.
Selama ini desa memang nyaman sebagai tempat bertani dan bermukim keluarga besar. Namun saya mengajak kita untuk menambah fungsi desa sebagai gudang kekayaan alam, sumber bahan baku dan pangan, pusat mata pencaharian baru, gudang etika budaya, dan yang terpenting – gudang pemuda cerdas untuk memajukan desanya.
Berdasarkan pengalaman dan penelitian yang saya lakukan, ada lima strategi yang harus segera diterapkan oleh pemuda desa:
Pertama, kita harus merawat budaya lokal sambil mengadaptasi nilai-nilai modern. Jangan sampai dalam mengejar kemajuan, kita kehilangan identitas sebagai anak desa.
Kedua, digitalisasi konten lokal dengan perlindungan hak cipta paten. Era digital membuka peluang besar untuk mengkomersialisasikan kekayaan budaya dan produk lokal kita dengan perlindungan hukum yang kuat.
Ketiga, penerapan agroteknologi dan pertanian cerdas. Sektor pertanian yang menjadi tulang punggung ekonomi desa harus ditransformasi dengan teknologi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi.
Keempat, pemuda sebagai mediator komunikasi lintas generasi. Kita harus menjadi jembatan yang menghubungkan kebijaksanaan generasi tua dengan inovasi generasi muda.
Kelima, pembentukan komunitas wirausaha digital berbasis kearifan lokal yang dapat menjadi advokat kebijakan pro-desa.
Tantangan Sebagai Batu Loncatan
Saya tidak menutup mata terhadap berbagai hambatan yang ada. Keterbatasan infrastruktur, akses teknologi yang terbatas, dan mindset tradisional yang resisten terhadap perubahan adalah realitas yang harus kita hadapi.
Namun justru di sinilah letak keunggulan pemuda desa. Kita memiliki kearifan lokal yang tidak dimiliki pemuda kota, plus kemampuan adaptasi yang tinggi dalam menghadapi tantangan. Setiap hambatan dalam memajukan taraf hidup sebenarnya adalah kesempatan untuk menjadi pemuda modern yang memiliki keahlian khas.
Konsep kemandirian ekonomi desa yang saya perjuangkan bukan berarti menutup diri dari dunia luar. Sebaliknya, dengan identitas kuat dan keahlian khas, pemuda desa justru dapat bersaing dan berdialog dengan dunia global dari posisi yang setara.
Modal pemuda desa saat ini bukan hanya tanaman untuk pertanian, UMKM, atau peternakan, tetapi juga kemampuan kolaborasi dalam menciptakan inovasi baru dan menerapkan teknologi terbaru. Kita harus membuktikan bahwa kemajuan tidak hanya lahir di kota, tetapi juga bisa tumbuh dari tanah pedesaan yang subur dengan nilai kerukunan, gotong royong, dan kebersamaan.
Ketika pemuda menanamkan harapan berupa gagasan, kerja keras, dan kepedulian, maka dengan ridho Tuhan Yang Maha Esa, pemuda desa akan menuai kemandirian dan berkembang dengan potensinya sendiri.
Transformasi ini membutuhkan komitmen jangka panjang dan pendekatan kolaboratif. Bukan proses instan, tetapi perjalanan konsisten yang akan mengubah desa menjadi pusat inovasi, bukan lagi sekadar pinggiran.
Saya mengajak seluruh pemuda desa untuk tidak lagi menjadi penonton dalam pembangunan ekonomi nasional. Saatnya kita menjadi aktor utama yang membuktikan bahwa masa depan ekonomi Indonesia tidak hanya ditentukan oleh kota-kota besar, tetapi juga oleh bagaimana desa-desa mampu mentransformasi diri menjadi entitas ekonomi yang mandiri dan berkelanjutan.
Desa bukan lagi ruang terpinggir. Desa adalah masa depan ekonomi Indonesia yang sesungguhnya.
—
Note: Tulisan ini merupakan refleksi dari diskusi Kedai Pemuda Desa Bangorejo, Mei 2025.