
DALAM hiruk-pikuk aktivitas tambang yang tak pernah berhenti di Kutai Timur, sebuah pemukiman kecil bernama Bukit Kayangan yang berada di RT 28 Desa Singa Gembara terjebak dalam dilema yang kompleks. Masyarakat yang telah bermukim selama lebih dari 25 tahun ini kini menghadapi ancaman ganda, dugaan pencemaran lingkungan akibat ekspansi tambang dan ketidakpastian akses terhadap kebutuhan dasar karena status lahan yang masih abu-abu.
Merespons eskalasi permasalahan yang semakin mengemuka di media massa, pemerintah kecamatan menginisiasi pertemuan mediasi pada Jumat, 23 Mei 2025. Pertemuan yang berlangsung selama hampir dua jam di halaman Mushola Ash Shohwah RT 28 ini dihadiri sekira 70 orang, termasuk perwakilan dari berbagai instansi terkait.
H. Khoirul Arifin selaku kuasa hukum yang mewakili 63 dari 99 kepala keluarga di RT 28, menyampaikan tuntutan yang tegas namun rasional. Menurutnya jika areal Jalan Bukit Kayangan ini mau ditambang, warga tidak akan keberatan jika ada ganti rugi atau ganti untung yang wajar.
Tuntutan ini, menurutnya cukup beralasan. Mengingat masyarakat telah bermukim di wilayah tersebut sejak tahun 1990-an, dan belum mendapatkan kesejahteraan dan hak-hak dasar masyarakat disini seperti listrik dan air.
“Kami mohon kejelasannya apakah areal pemukiman ini ditambang atau tidak. Jika tidak ditambang maka kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat seperti listrik PLN dan air bersih PDAM, serta fasilitas umum dan infrastruktur juga diberikan sebagai hak dasar warga yang harus dipenuhi,” ucapnya.
Selain masalah infrastruktur, masyarakat juga menghadapi ancaman kesehatan akibat dugaan pencemaran lingkungan. Suyono, salah satu warga yang hadir dalam pertemuan mediasi, menceritakan kondisi yang memprihatinkan. Beberapa warga melaporkan mengalami penyakit kulit gatal-gatal yang diduga terkait dengan kualitas air yang menurun.
Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa masyarakat tidak memiliki alternatif sumber air bersih. Embung yang dibangun bertahun-tahun lalu tidak pernah berfungsi optimal, sementara infrastruktur PDAM yang sudah terpasang di jalan utama tidak pernah dialiri air.
“Masalah kesehatan ini ada beberapa warga yang terkena penyakit gatal-gatal. Yang pasti ada warga yang berdampak gatal-gatal.” ucapnya.
Dalam pertemuan mediasi itu juga mengungkap frustrasi mendalam masyarakat terhadap ketidakpastian yang berkepanjangan. Suyono, warga yang vokal dalam menyuarakan keluhan, mengungkapkan bahwa pertemuan tersebut kembali ke awal lagi sehingga warga tidak ada kepastian lagi.
“Kita sudah beberapa kali diskusi oleh Pak Rusli KPC dan dengan perwakilan Dewan DPRD Kutim dan terus disampaikan bahwa wilayah ini positif masuk konsesi PT. KPC. Sehingga PLN tidak mau memasang bukan dari PLN karena di sana resmi akan ditambang dan berjalannya waktu tidak ada kejelasan sampai saat ini, kita digantung saat ini,” katanya.
Ahmad Fauzi salah satu warga menyampaikan bahwa air yang dulu jernih hingga ikan tampak bergerak di dasar sungai, kini berubah keruh seperti berlumpur. “Dulu air sungai jernih, ikan di dalam kelihatan, ada saksi-saksi yang pernah mancing di sungai, air minum bisa dari sungai juga,” kenangnya.
Keluhan Ahmad bukanlah kasus tunggal. Puluhan keluarga di RT 28 Bukit Kayangan mengalami nasib serupa yang diduga dimulai sejak aktivitas pembangunan fasilitas pengolahan air PT. Kaltim Prima Coal (KPC) dimulai di hulu sungai. Yang membuat situasi semakin rumit, masyarakat tidak memiliki alternatif sumber air bersih. Ditambah hingga kini listrik PLN dan jaringan PDAM belum masuk ke wilayah mereka.
Hasdiah Dohi, Camat Sangatta Utara, sebelumnya saat membuka pertemuan tersebut menegaskan fokus pada penyelesaian kebutuhan dasar masyarakat. Dengan melibatkan pihak pihak terkait, Hadiah berharap keluhan masyarakat dapat teratasi.
“Kami menindaklanjuti kebutuhan dasar masyarakat pada hari ini yaitu listrik dan air. Kita sudah undang PLN dan PDAM bagaimana agar keluhan masyarakat teratasi,” jelasnya.
Nursalim, Manager PLN ULP Sangatta, menjelaskan bahwa pihaknya telah menindak lanjuti dengan bersurat ke pihak divisi eksternal PT. KPC perihal permohonan masyarakat yang sudah masuk sejak 2023. PLN telah melakukan survei teknis dan menemukan bahwa infrastruktur listrik sebagian sudah tersedia.
“Satu hal aja yang ingin kami carikan info adalah status tanah ini masuk dalam konsesi apa tidak. Kalau kami cek dari Jalan Poros Bengalon itu ada 39 tiang listrik yang sudah komplit dengan aksesoris dan kabelnya dan yang ujung sampai pemukiman ini ada 35 tiang yang masih kosong,” jelas Nursalim.
Situasi serupa dihadapi PDAM Kutai Timur. Galuh, Direktur Teknik PDAM, menegaskan bahwa untuk masalah air bersih juga memerlukan kejelasan status lahan.
“Titik terdekat kami bisa tarik dari wilayah TVRI Bukit Pelangi sekitar 3,7 km yang masuk areal PT. KPC. Maka dari itu adalah otoritas PT. KPC, sehingga perlu ada kejelasan status lahan.” tegasnya
Di konfirmasi seusai pertemuan itu, PT Kaltim Prima Coal (KPC) melalui Nanang Supriadi, Manager Community Empowerment PT KPC, menjelaskan bahwa pembangunan fasilitas yang sedang berlangsung merupakan kolam pengendap yang wajib ada sebelum operasional tambang dimulai.
Nanang menegaskan bahwa kolam pengendap yang dibangun dekat RT 28 adalah prasyarat mutlak sebelum membuka area tambang baru. Pembangunan fasilitas tersebut telah mendapat persetujuan teknis dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat melalui dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang baru.
“Tambang tidak boleh dibuka kecuali kolam ini sudah selesai. Ini justru untuk mengendalikan dampak lingkungan,” jelasnya.
Menanggapi tentang keberadaan pemukiman di area konsesi, Nanang mengatakan bahwa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PT KPC merupakan kelanjutan dari izin pertama perusahaan yang masuk dalam PKP2B generasi pertama yang diterbitkan pada tahun 1981.
Namun demikian, PT KPC mengakui tanggung jawabnya terhadap masyarakat yang bermukim di area konsesi. Menurut Nanang, jika nantinya lahan tersebut dibutuhkan untuk operasional tambang, maka akan dilakukan pembebasan lahan dengan kompensasi yang sesuai.
Terkait keluhan warga mengenai kekeruhan air dan kualitas udara, PT KPC berkomitmen melakukan pemantauan tambahan. Nanang menyatakan bahwa pihaknya akan meminta izin kepada masyarakat untuk memasang alat pengukur kualitas udara dan tingkat kebisingan di area tersebut.Untuk pengambilan sampel air, PT KPC bekerja sama dengan DLH sesuai prosedur yang berlaku.
“Kita sudah lakukan pemantauan rutin sesuai AMDAL, tapi karena ada concern warga di sini, kita siap lakukan pemantauan tambahan,” kata Nanang.
Sebagai respons cepat terhadap keluhan warga tentang kualitas air, PT KPC berkomitmen menyediakan akses air bersih. Nanang menjelaskan bahwa pihaknya akan melakukan pertemuan teknis pada hari Senin untuk membahas detail penyediaan air bersih, termasuk lokasi pengambilan dan metode distribusinya.
“Yang akan kita tindak cepat itu yang berkaitan dengan air bersih. Kita akan meeting lagi untuk membahas teknisnya dengan RT dan masyarakat,” jelasnya.
Dalam pertemuan mediasi tersebut menghasilkan sejumlah kesepakatan diantaranya adalah komitmen perusahaan memberikan jawaban tertulis kepada PLN, PDAM, dan pemerintah desa/kecamatan terkait status lahan dan kesiapan mengakomodasi kebutuhan warga maksimal Rabu, 28 Mei 2025.
Permasalahan fundamental yang dihadapi masyarakat Bukit Kayangan terletak pada ketidakjelasan status lahan yang mereka tempati. Wilayah seluas puluhan hektare ini berada dalam Izin Usaha Pertambangan Khusus(IUPK) PT. KPC, namun belum jelas apakah akan ditambang atau tidak.
Ketidakpastian ini menciptakan lingkaran setan. PLN enggan memasang jaringan listrik karena khawatir investasi infrastruktur akan sia-sia jika area tersebut ditambang. PDAM menghadapi kendala serupa, dimana jalur distribusi air harus melewati konsesi PT. KPC sejauh 3,7 kilometer dari titik terdekat.
Kasus Bukit Kayangan mencerminkan dilema klasik dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia: konflik antara hak masyarakat lokal dan kepentingan industri ekstraktif. Masyarakat yang telah bermukim puluhan tahun terjebak dalam ketidakpastian hukum akibat tumpang tindih kepemilikan lahan.
Ketidakjelasan status lahan menciptakan vakum tanggung jawab dimana tidak ada pihak yang merasa berkewajiban menyediakan infrastruktur dasar. PLN dan PDAM terkendala birokrasi, sementara pemerintah daerah memiliki keterbatasan kewenangan dalam konsesi pertambangan.
Di sisi lain, PT. KPC sebagai perusahaan tambang besar juga menghadapi kompleksitas operasional dimana rencana tambang bersifat dinamis dan dapat berubah sesuai kondisi geologis dan ekonomi. Namun, ketidakpastian ini tidak boleh mengorbankan hak dasar masyarakat yang telah bermukim bertahun-tahun.
Tenggat waktu 28 Mei 2025 menjadi ujian bagi komitmen semua pihak, khususnya PT. KPC, dalam menyelesaikan permasalahan yang telah berlarut-larut ini. Respons perusahaan akan menentukan apakah mediasi ini berujung pada solusi berkelanjutan atau justru memperburuk konflik.
Masyarakat Bukit Kayangan kini menunggu dengan penuh harap. Setelah 25 tahun hidup dalam ketidakpastian, mereka berhak mendapatkan jawaban yang jelas: apakah mereka akan digusur dengan kompensasi yang layak, atau dibiarkan tinggal dengan jaminan akses terhadap kebutuhan dasar yang selama ini terabaikan.(Q)