
KUTAI TIMUR – Konflik agraria yang terjadi di Kecamatan Telen, Kutai Timur, antara Kelompok Tani Nila Lestari dengan PT Equalindo Makmur Alam Sejahtera (PT Emas) kembali mencuat ke permukaan. Panitia Kerja (Panja) DPRD Kutai Timur turun langsung ke lokasi untuk mencari solusi atas sengketa lahan yang telah berlangsung bertahun-tahun ini.
Ketua Tim Kelompok Tani Nila Lestari, Solihin, dalam penjelasannya kepada anggota DPRD menegaskan bahwa lahan yang menjadi sengketa merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat Dusun Tiga. “Disitulah piring nasi kami, disitulah kehidupan kami,” ujarnya dengan penuh kekhawatiran.
Menurut pengakuannya, kelompok tani telah mengelola lahan tersebut jauh sebelum perusahaan hadir, bahkan telah memiliki legalitas kepemilikan lahan. Klaim ini diperkuat oleh beberapa dokumen kepemilikan dan surat garapan yang diterbitkan oleh pemerintah desa setempat.
“Karena kepemilikan kami ini sudah ada legalitas-legalitas yang kita punya. Dusun Tiga itu yang diberikan desa itu jangan dihilangkan. Karena kami tidak memiliki lahan lagi,” tegasnya, Rabu (30/4/2025).
Salah satu temuan penting dari Panja DPRD Kutai Timur adalah belum terangnya status Hak Guna Usaha (HGU) PT Emas. Faisal Rahman, anggota DPRD Kutim dan anggota Panja, menambahkan bahwa perlu kehadiran Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memastikan titik koordinat dan batas HGU yang dimiliki PT Emas.
“Pengalaman saya dengan Pak Ali menyelesaikan ini, kami bawa langsung BPN-nya dan ditunjukkan titik koordinatnya titik patok BPN tentang HGU-nya perusahaan. Ternyata memang ditemukan perusahaan itu menanam di luar HGU,” jelasnya.
Berdasarkan keterangan masyarakat, PT Emas tidak pernah melakukan sosialisasi sebelum membuka lahan. “PT Emas ini belum pernah namanya ada sosialisasi. Kalau sosialisasi pasti Bapak juga tahu, dari Kapolsek juga tahu, pasti ada dokumentasi-dokumentasi,” ungkap salah satu anggota masyarakat.
Rudiansyah, Humas PT Emas, membantah tudingan tersebut dengan menyatakan bahwa perusahaan telah beroperasi berdasarkan surat dari desa hingga Izin Pembukaan Lahan (IPL). “Setahu saya yang disampaikan oleh pihak manajemen berdasarkan surat dari desa sampai pun sampai ke IPL kita. Yang itu yang kami lakukan yang kami kerjakan hari ini,” ujarnya.
Namun, dalam wawancara terpisah melalui sambungan telepon, Rudiansyah membenarkan bahwa HGU perusahaan masih dalam proses. Ia juga mengakui bahwa perusahaan memiliki Surat Garapan dari pemerintah desa setempat, sama seperti yang dimiliki masyarakat.
Kesaksian mantan Kepala Desa menambah kompleksitas persoalan ini. Ia mengaku pernah diminta PT Emas untuk memberikan izin lokasi namun menolak karena masih ada izin dari PT Samantara (MAKIN).
“Saya anehnya lagi, meskipun izin lokasi itu masih di atas izin Samantara, kok bisa terbit itu? 2017 itu kan. Nah, setelah itu 2018 terbit dari izin APL,” ungkapnya.
Mantan Kepala Desa ini juga mengaku telah dipenjara selama dua tahun terkait kasus ini, meski ia menegaskan bahwa putusan pengadilan tidak menyangkut masalah lahan, melainkan hanya masalah uang. Kini, ia pun masih digugat oleh PT Emas dengan tuduhan menurunkan Surat Keterangan Tanah (SKT) di atas izin PT Emas.
Masalah lain yang terungkap adalah ketidakjelasan terkait program plasma. Kepala Dusun Rudianto menyatakan bahwa awalnya PT Emas menawarkan program plasma, tetapi kemudian berubah menjadi inti.
“PT Emas di seberang itu kan plasma kami ada 100 hektar. Nah, ternyata karena dianggap di sana itu tidak produktif, maksudnya tidak layak dibagikan kepada masyarakat, akhirnya dipindah ke sini menjadi 120 hektar,” jelasnya.
Namun, anggota masyarakat lain memberikan keterangan berbeda. Menurut mantan Ketua Badan Permusyawaratan Desa, sebenarnya pernah ada kesepakatan dengan perusahaan sebelumnya (MAKIN) dengan pembagian 70% plasma dan 30% inti, tetapi tidak menemukan kesepakatan masalah penggarapan lahannya.
“Kami kan senang kan, tapi kan mungkin hampir seluruh masyarakat Desa Muara Pantun ini kebagian plasma-nya kalau sampai 70. Nah, cuman tidak menemukan kesepakatan masalah penggarapan lahannya ini,” ungkapnya.
Panja DPRD Kutai Timur menegaskan posisinya sebagai penengah dalam konflik ini. Muhammad Ali menyatakan bahwa kehadiran DPRD Kutim adalah untuk menengahi permasalahan yang timbul. Ditegaskannya bahwa sikap yang diambil adalah tidak memihak.
“Kita di sini coba kita coba artinya hadir pada hari ini nih tidak berpihak ke petani atau masyarakat ataupun ke pihak perusahaan. Jadi kita cek dulu nanti di lapangan.”tegasnya.
DPRD juga menekankan perlunya keterlibatan aktif manajemen PT Emas dalam penyelesaian masalah ini. Kajan Lahang, anggota DPRD Kutim dan anggota Panja, meminta agar manajemen PT Emas proaktif menyelesaikan sengketa ini. “Jadi saya sarankan supaya pihak manajemen itu inisiatif untuk menyelesaikan ini,” ujarnya.
Baya Sargius, Wakil Ketua Panja, menawarkan solusi berupa skema bagi hasil. “Sekarang kenapa kita enggak teruskan itu ke plasma? Kan perusahaan juga bukan tanah juga dia cari, ya dia cari sawit kan? Kenapa enggak 50% atau 60% mereka punya masyarakat? Itu punya perusahaan. Yang penting aman,” sarannya.
DPRD Kutai Timur tak segan memberikan penegasan kepada PT Emas jika tidak kooperatif dalam penyelesaian sengketa ini. Muhammad Ali menegaskan bahwa DPRD dapat mengeluarkan surat kepada dinas terkait untuk penghentian perizinan perusahaan.
“Kalau enggak nanti kami bikin pertimbangan teknis atau kami bikin surat ke dinas terkait untuk penyetopan perizinan Bapak dulu. Termasuk nantinya izin pertriwulan harus kita cek lagi ke lapangan,” ancamnya.
Ia juga menyebut akan meminta Satpol PP untuk melakukan police line jika terbukti PT Emas beroperasi tanpa izin yang lengkap. Bahkan tak cukup sampai disitu, pengecekan secara menyeluruh juga bakal dilakukan melalui Panja DPRD Kutim terhadap perusahaan. Baik dari sisi perizinan ataupun sisi lainnya yang berkenaan langsung dengan perusahaaan.
Di tengah ketegangan antara kedua belah pihak, DPRD Kutai Timur tetap menyerukan perlunya solusi bersama yang menguntungkan semua pihak. Baya Sargius menekankan pentingnya kehadiran perusahaan bagi perekonomian daerah.
“Kehadiran perusahaan pun kita inginkan. Karena mereka juga bisa membuka lapangan kerja. Tapi perusahaan jangan lupa hak masyarakat pun jangan semena-mena,” tandas Baya. (Yos/Q)