By: Ekky Yudistira

PRAKTIK balas jasa politik telah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti sistem demokrasi kita. Setiap pergantian kepemimpinan di tingkat lokal seolah membawa serta “kewajiban” untuk membagi-bagi kekuasaan dan sumber daya kepada mereka yang telah “berjasa” dalam proses politik. Fenomena ini bukan lagi rahasia umum, namun seolah telah diterima sebagai konsekuensi logis dari proses politik yang berjalan.

Sungguh memprihatinkan melihat bagaimana jabatan-jabatan strategis di pemerintahan diperlakukan layaknya barang dagangan. Kepala dinas, kepala badan, hingga jabatan-jabatan teknis lainnya kerap diisi bukan berdasarkan kompetensi, melainkan berdasarkan “jasa” politik yang telah diberikan. Tak heran jika kemudian kita menemukan banyak kebijakan dan program yang tidak tepat sasaran, bahkan berujung pada kerugian negara.

Penggunaan APBD untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, manipulasi proyek-proyek daerah, hingga pemberian hibah yang tidak sesuai prosedur, semua ini adalah buah dari sistem politik yang menganggap kekuasaan sebagai alat untuk “membalas budi”. Yang lebih mencengangkan, praktik-praktik ini seringkali dilakukan dengan sangat sistematis dan terstruktur, seolah telah menjadi “prosedur tidak tertulis” dalam birokrasi kita.

UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya telah memberikan landasan hukum yang jelas untuk memberantas praktik-praktik tersebut. Ditambah dengan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, seharusnya tidak ada lagi celah untuk membenarkan praktik balas jasa politik yang merugikan ini.

Namun sayangnya, penegakan hukum seringkali tumpul menghadapi realitas politik di lapangan. Kepentingan-kepentingan politik yang kuat seringkali mampu mengalahkan upaya penegakan hukum. Akibatnya, masyarakatlah yang harus menanggung dampak dari praktik-praktik tersebut. Pelayanan publik yang buruk, pembangunan yang tidak merata, hingga hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah.

Sudah saatnya kita mengambil langkah tegas untuk memberantas praktik ini. Penguatan pengawasan internal dan eksternal harus menjadi prioritas. Inspektorat harus diberdayakan secara maksimal, DPRD harus menjalankan fungsi pengawasannya dengan benar, dan masyarakat sipil harus dilibatkan secara aktif dalam proses pengawasan.

Transparansi pengelolaan anggaran juga harus ditingkatkan. Sistem e-planning dan e-budgeting yang terintegrasi harus diterapkan di seluruh daerah. Informasi tentang pengadaan barang dan jasa harus dapat diakses dengan mudah oleh publik. Keterbukaan ini akan mempersulit oknum-oknum yang ingin memanfaatkan anggaran publik untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan tanpa pandang bulu. Aparat penegak hukum harus berani menindak siapapun yang terlibat dalam praktik balas jasa politik yang melanggar hukum. Sanksi yang diberikan harus mampu memberikan efek jera, dan kerugian negara harus dapat dipulihkan.

Reformasi birokrasi juga harus dilakukan secara menyeluruh. Sistem merit harus diterapkan secara ketat dalam penempatan jabatan. Kinerja pejabat harus dievaluasi secara berkala, dan integritas aparatur harus terus diperkuat melalui berbagai program pembinaan.

Yang tidak kalah penting, masyarakat harus berperan aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Jangan takut untuk melaporkan indikasi penyimpangan. Bangun kesadaran anti-korupsi di lingkungan masing-masing. Hanya dengan gerakan bersama, praktik balas jasa politik yang merugikan ini bisa dihentikan.

Memberantas praktik balas jasa politik memang bukan perkara mudah. Diperlukan komitmen kuat dari semua pihak dan perubahan sistemik yang menyeluruh. Namun, ini adalah sebuah keharusan jika kita ingin membangun sistem demokrasi yang sehat dan pemerintahan yang benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat. Sudah saatnya kita bergerak bersama untuk menciptakan perubahan ini.

Loading