
By Ekky Yudistira
KERTAS putih yang kini ternoda tinta kebohongan. Artikel-artikel yang lahir bukan dari fakta, melainkan dari bisikan kepentingan dan gemericing uang. Inilah potret buram dari mereka yang mengaku wartawan namun telah menggadaikan idealismenya.
Kode Etik Jurnalistik dan Kode Perilaku Wartawan – dua pedoman suci yang seharusnya menjadi kompas moral setiap jurnalis – kini seakan hanya menjadi hiasan dinding di ruang redaksi. Diabaikan, dilupakan, bahkan mungkin tak pernah benar-benar dipahami oleh mereka yang terlalu sibuk mengejar ‘amplop’ dan jabatan.
Di manakah letak kebanggaan profesi ketika setiap kata yang tertulis adalah hasil negosiasi dengan penguasa? Bagaimana mungkin mengklaim diri sebagai pilar demokrasi, sementara pena yang digunakan telah menjadi alat propaganda kepentingan tertentu?
Tulisan adalah cermin jiwa penulisnya. Ketika artikel dipenuhi kepalsuan, itu berarti sang penulis telah kehilangan kejujuran dalam dirinya. Setiap berita yang diterbitkan di bawah tekanan uang atau kekuasaan adalah bukti pengkhianatan terhadap profesi yang seharusnya menjunjung tinggi kebenaran.
Mereka yang masih berani menyebut diri wartawan, sementara karyanya penuh manipulasi, sesungguhnya telah mencederai kepercayaan publik. Bagaimana mungkin masyarakat bisa mendapatkan informasi yang benar ketika para penyampai berita justru menjadi perpanjangan tangan kepentingan tertentu?
Kode Etik Jurnalistik bukanlah sekadar dokumen formal. Ia adalah kitab suci yang seharusnya menjadi panduan setiap langkah wartawan dalam mencari dan menyampaikan kebenaran. Ketika kode etik ini dilanggar, bukan hanya profesionalisme yang tercoreng, tapi juga kepercayaan publik terhadap institusi pers secara keseluruhan.
Maka, kepada mereka yang masih mengaku wartawan namun telah menggadaikan idealismenya: Lihatlah kembali ke dalam diri. Masihkah pantas menyandang status profesi yang mulia ini? Ataukah lebih baik mengundurkan diri daripada terus menjadi bagian dari pembusukan profesi?
Karena pada akhirnya, wartawan sejati tidak diukur dari seberapa banyak ‘amplop’ yang diterima atau seberapa dekat dengan penguasa. Wartawan sejati diukur dari komitmennya terhadap kebenaran, keberaniannya menyuarakan fakta, dan keteguhannya menjaga marwah profesi.