Oleh: Ekky Yudistira

DITENGAH hiruk pikuk perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2025, sebuah ironi menguat. Mereka yang mengaku wartawan berjalan beriringan – antara yang menjunjung tinggi idealisme dan yang rela “menjual” profesionalisme demi sesuap nasi atau secuil kekuasaan.

Pilkada 2024 di Kutim Kaltim menjadi cermin buram dunia pers. Sejumlah oknum yang mengaku wartawan terlihat terang-terangan berpihak, menari dalam lingkaran politik praktis, mengabaikan independensi yang seharusnya menjadi ruh jurnalisme. Mereka dengan bangga mengenakan ‘baju wartawan’ sambil diam-diam menyelipkan kepentingan politik dalam setiap tulisan.

“Pelacuran profesi” – istilah keras namun tepat menggambarkan fenomena ini – seolah telah menjadi rahasia umum. Para oknum ini, tanpa rasa malu, masih berani mengacungkan kartu pers mereka, seakan-akan legitimasi formal bisa menutupi perilaku yang mencoreng marwah profesi.

Namun pers sejati tetap berdiri tegak. Mereka yang masih memegang prinsip “cover both sides”, yang menolak amplop dan tekanan politik, yang berani memberitakan kebenaran meski pahit. Merekalah yang sesungguhnya layak merayakan HPN, bukan mereka yang menjadikan profesi mulia ini sebagai kendaraan kepentingan.

HPN 2025 seharusnya menjadi momentum introspeksi. Ketika sebagian “rekan seprofesi” memilih menghamba pada kekuasaan dan uang, pers sejati justru harus semakin menunjukkan eksistensinya sebagai pilar demokrasi yang tak tergoyahkan. Karena pada akhirnya, sejarah akan mencatat siapa yang benar-benar memperjuangkan kebenaran, dan siapa yang hanya berpura-pura menjadi pembela kebenaran.

Loading