
SAMARINDA – Aktivitas penambangan batubara yang belakangan diketahui dikerjakan PT. Untung Bersaudara berdampak menyebabkan retaknya tanah makam leluhur warga di pemakaman umum Jalan Merapi RT. 13 kelurahan Tanah Merah, kecamatan Samarinda Utara.
Beberapa warga yang merasa makam leluhurnya terancam longsor melakukan protes ke pihak penambang pada hari Rabu (5/2/2025) yang dimediasi pihak Kelurahan Tanah Merah, namun tidak membuahkan titik temu. Dan pada hari Kamis (6/2/2025) pertemuan mediasi kembali digelar berlangsung di ruang rapat kantor kelurahan Tanah Merah sejak pukul 09.00 WITA hingga pukul 13.00 WITA hanya membuahkan kesimpulan mediasi yang ditandatangani Joko,S.Sos Lurah Tanah Merah.
Dalam pertemuan mediasi yang dihadiri Kasi Pemerintahan Kecamatan Samarinda Utara, Lurah Tanah Merah, Satpol PP, Babinsa, Babinkamtimmas Kelurahan Tanah Merah, Ketua RT 12, 13,14 Kelurahan Tanah Merah, Pihak Pengurus Makam, Penambang, Koperasi, Tokoh masyarakat berakhir dengan hasil kesepakatan yang bias.
Lurah berdalih hanya penyelesaian persoalan dampak sosial akibat aktivitas pertambangan batubara, sementara ia sendiri tidak tahu apa nama perusahaan yang melakukan kegiatan penambangan di wilayahnya.
“Apa nama perusahaan yang menambang,” kata Joko Lurah Tanah Merah saat penyusunan kesepakatan mediasi ditujukan kepada perwakilan penambang.
Pihak penambang mendapat pertanyaan tersebut saling pandang satu sama lain. Seperti bingung menjawab, akhirnya Agus salah satu dari penambang menyampaikan nama perusahaan PT. Untung Bersaudara.
“Jangan salah tulis mas, PT. Untung Bersaudara bukan Koperasi Puma. Kami siap melakukan penanggulangan jika terjadi dampak dari penambangan,” kata Agus saat ditanya jurnalborneo.com.
Joko Lurah Tanah Merah menjelaskan mediasi dampak sosialnya, bukan perizinan pertambangan.
“Ada tiga poin kesepakatan dalam mediasi: a. Pihak Penambang PT. untung Bersaudara/Koperasi Putra Mahakam siap melakukan penanggulangan dan perbaikan terhadap dampak longsor areal pemakaman; b. Pelaksanaan penambangan dan berbaikan dilaksanakan secara bersamaan; c. Pengawasan kegiatan tersebut dilakukan secara besama pihak (Pihak Penambang, para Waris, RT dan RKM),” jelasnya.
Darsa (66) warga RT.14 menyebutkan pada awal pembuatan makam ia salah satu yang membuka pertama. “Saya salah satu pembuat makam pertama, untuk makan umum di Jalan Merapi RT. 13. Pada saat itu tidak ada pemikiran muslim atau non muslim, pokoknya siapa yang meninggal dimakamkan disitu,” jelas Darsa.
Makam yang saat ini terjadi retakan itu ada sejak tahun 1975, awalnya hanya 400 meter persegi, begitu berkembang banyak sumbangan warga sehingga dipisahkan antara Islam dan non Islam dengan jalur. “Makam yang mengalami retakan itu makam kristen,” tambahnya.
Darsa menjelaskan munculnya perusahaan tambang apakah memiliki izin atau tidak dirinya tidak paham, cuma ia menyebutkan pernah menerima uang sebesar Rp5 juta atas penggantian tanam tumbuh di area yang ditambang.
Sementara Yuristio (28), warga RT 13 yang kuburan orang tuanya terdampak, mempertanyakan legalitas aktivitas tambang yang dilakukan perusahaan. Pertanyaan tersebut dia lontarkan di dalam forum mediasi, namun tidak mendapatkan jawaban yang terang.
“Saya hanya ingin memastikan apakah benar penambangan di lokasi tersebut sudah memiliki izin,” ujarnya usai mediasi.
Namun, menurutnya, pihak perusahaan dalam hal ini PT Untung Bersaudara sebagai pengembang, belum dapat menunjukkan dokumen perizinan yang diminta. “Kami ingin melihat surat izin pertambangan serta dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), karena di dalam Amdal seharusnya sudah ada perencanaan teknis pertambangan,” pungkasnya.(*/mn)