
SUNGGUH menarik menyaksikan bagaimana sebuah “tradisi” bernama banjir terus berulang di Kutai Timur, seolah-olah ini adalah pertunjukan tahunan yang wajib digelar. Sementara warga sibuk mengamankan barang-barang dari rendaman air, ada pihak-pihak yang justru asyik menghitung keuntungan dari kerusakan alam yang mereka ciptakan.
Mari kita bicara tentang “pembangunan” – sebuah kata indah yang sering dijadikan tameng untuk membenarkan penjarahan lingkungan. Galian C ilegal bermunculan bagai jamur di musim hujan, sementara kawasan Taman Nasional Kutai dibabat dengan santainya. Anehnya, para pelaku seolah memiliki “jubah kebal” yang membuat mereka tak tersentuh hukum.
Ketika air mulai merangkak naik ke rumah-rumah warga, bantuan sembako pun mengalir. Namun tidakkah ini seperti mengobati luka dengan plester sementara pisau yang mengirisnya masih terus menari? Para “bedebah” yang menjadi dalang di balik bencana ini mendadak menghilang, seolah tertelan bumi – mungkin sama dalamnya dengan lubang-lubang galian yang mereka tinggalkan.
Pemerintah daerah, dengan segala kebijakannya yang “bijak”, tampaknya lebih mahir dalam urusan membagi sembako daripada mencegah penyebab banjir. Seolah lebih mudah memberikan ikan daripada mengajari cara memelihara sungai dan hutan. Sementara itu, Tagana sibuk mengevakuasi korban banjir – sebuah pekerjaan mulia yang sayangnya harus terus berulang karena ketidaktegasan terhadap para perusak lingkungan.
Mungkin sudah saatnya kita bertanya: Sampai kapan drama ini akan terus berulang? Berapa lama lagi masyarakat harus menerima “hadiah” banjir sementara para perusak lingkungan tetap bebas berkeliaran dengan kantong tebal mereka? Atau jangan-jangan, banjir ini sudah menjadi “bisnis” yang terlalu menguntungkan untuk dihentikan?
Kutai Timur memang kaya akan sumber daya alam, tapi tampaknya lebih kaya lagi akan para “bedebah” yang pandai bersembunyi di balik kata “pembangunan”. Sementara masyarakat terus bermain air di rumah mereka sendiri, para penikmat bencana ini mungkin sedang bersantai di tempat kering, menghitung keuntungan dari air mata rakyat.
Mungkin inilah saatnya masyarakat tidak hanya pandai menerima sembako, tapi juga harus berani bertanya: Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas “tradisi” banjir ini? Para penggali lubang yang tak berizin, atau para pemberi izin yang menutup mata?