
Penulis: Hafif Nikolas
SUNGGUH ironis melihat sebuah kabupaten yang dijuluki “Tuah Bumi Untung Benua” justru terjebak dalam ketergantungan pada satu sumber daya yang akan habis. Dengan 82,70% PDRB bergantung pada batubara, Kutai Timur seolah sedang berpesta di atas kapal yang perlahan tenggelam.
Tahun 2030 dan 2050 bukan lagi sekadar angka di kalender – ini adalah batas waktu yang menggetarkan, menandai dimulainya era senja batubara di Kutai Timur. Namun yang mengkhawatirkan, solusi yang ditawarkan dalam debat kandidat pemimpin daerah terasa seperti gema kosong yang terlalu familiar – “ekonomi hijau”, “reklamasi”, “energi terbarukan” – jargon-jargon yang indah namun tanpa rencana konkret.
Menariknya, ketika berbicara tentang potensi non-tambang, Kutai Timur sebenarnya seperti seseorang yang duduk di atas harta karun tapi terlalu sibuk menggali lubang di tempat lain. Dengan kenaikan sektor perkebunan dan pertanian yang mencapai 7,60% pada 2023, seharusnya ini menjadi alarm keras bahwa alternatif itu ada dan sangat menjanjikan.
Bicara soal pariwisata? Kutai Timur memiliki kekayaan alam yang bisa membuat daerah lain iri – dari pantai hingga pegunungan kars. Tapi sekali lagi, potensi ini seperti perhiasan yang dibiarkan berkarat di lemari, menunggu untuk dipoles dan dipamerkan.
Target lima tahun untuk transformasi ekonomi yang dicanangkan Bupati terpilih terdengar ambisius – mungkin terlalu ambisius mengingat besarnya ketergantungan terhadap batubara saat ini. Namun pilihan apa yang tersisa? Menunggu hingga tambang benar-benar kosong baru bergerak?
Kutai Timur perlu lebih dari sekadar rencana dan janji-janji politik. Mereka membutuhkan revolusi pemikiran – dari mentalitas “daerah tambang” menjadi “daerah berkelanjutan”. Tanpa perubahan fundamental ini, semua potensi non-tambang hanya akan menjadi daftar panjang “yang seharusnya bisa” alih-alih “yang sudah terwujud”.
Waktu terus berjalan, dan batubara terus menipis. Pertanyaannya sekarang: akankah Kutai Timur benar-benar bangkit dari ketergantungannya, atau hanya berganti dari satu ketergantungan ke ketergantungan lain? Jawabannya terletak pada keseriusan dan keberanian pemimpin serta masyarakatnya untuk benar-benar berubah.