
Oleh: Ekky Yudistira
SUNGGUH menarik menyaksikan bagaimana beberapa orang dengan penuh percaya diri melenggang di ruang ataupun lingkungan kerja orang lain, seolah-olah mereka pemegang saham mayoritas perusahaan tersebut. Padahal, status mereka tak lebih dari pengunjung yang kebetulan memiliki “koneksi khusus” dengan salah satu penghuni kantornya.
Bayangkan jika kita berkunjung ke rumah seseorang. Apakah karena kita kenal baik dengan salah satu anggota keluarganya, lantas kita bebas membuka kulkas dan mengambil makanan sesuka hati? Atau karena kita dekat dengan sang anak, kita bisa seenaknya tidur-tiduran di sofa ruang tamu sementara yang lain sedang bekerja?
Mungkin ada baiknya kita ingat pepatah lama: “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Keakraban dengan seseorang tidak otomatis memberikan kita hak istimewa untuk mengabaikan profesionalisme dan etika di tempat kerja mereka. Bukankah agak janggal ketika orang luar justru bertingkah lebih “berkuasa” dari personil yang setiap hari memproduksi atau berkegiatan di sana?
Mari kita tanyakan pada diri sendiri: Apakah kehadiran kita memberikan nilai tambah atau justru mengganggu produktivitas? Apakah status “orang spesial” yang kita banggakan itu sejatinya membuat orang yang kita kunjungi merasa tidak nyaman di hadapan rekan kerjanya?. Atau mungkin baiknya direnungkan juga apa dampak dari kehadiran itu sendiri bagi rekan kerja lainnya.
Seperti tamu yang bijak, sudah sepatutnya kita memahami bahwa tempat kerja bukanlah taman bermain pribadi. Sekali lagi, siapapun “orang dalam” yang kita kenal, status kita tetaplah orang luar – dan mungkin akan lebih baik jika kita bertindak sesuai dengan label tersebut.
Karena pada akhirnya, sikap tahu diri tidak akan pernah menurunkan martabat kita. Justru sebaliknya, ia menunjukkan keluhuran budi yang semakin langka di zaman sekarang.