TIGA tahun berlalu bagai angin lalu. Jejak prestasi? Nihil. Dampak perubahan? Senyap. Di bawah kepemimpinannya, waktu seolah membeku dalam stagnansi yang mematikan. Gedung megah yang dia tempati hanyalah panggung sandiwara – tempat dia memoles personal branding sambil mengabaikan esensi sejati sebuah kepemimpinan: membawa perubahan dan kemajuan bagi organisasi yang dipimpinnya.

“Setiap rapat selalu bicara tentang visi dan misi. Tapi eksekusinya? Nol besar,” bisik salah seorang anggota organisasi yang memilih untuk tidak disebutkan namanya. Ironis memang, ketika kursi kepemimpinan justru berubah menjadi singgasana untuk membangun kerajaan ego pribadi.

Bukannya introspeksi, sang pemimpin justru semakin tenggelam dalam pusaran ambisi tak berbatas. Dia menjalin simbiosis mutualisme dengan “para pemburu kekuasaan” lainnya – sebuah lingkaran setan yang saling menguntungkan namun mengorbankan kepentingan organisasi. Bagai cendawan di musim hujan, kolusi tumbuh subur dalam gelap, jauh dari sorot mata anggota organisasi yang semakin resah.

AD/ART organisasi? Baginya itu hanya secarik kertas usang yang bisa ditafsirkan sesuka hati. Organisasi dijalankan bagai warisan moyang – bebas diatur sesuai selera pribadi. Suara-suara kritis dari rekan sejawat? Teredam oleh gemuruh ambisi dan dengung sanjungan para penjilat yang setia mengelilinginya.

Dari balik meja kerjanya yang rapi, dia rajin meluncurkan janji-janji manis. Setiap kata yang meluncur dari bibirnya bagai madu beracun – manis di lidah namun mematikan dalam substansinya. “Kita akan membawa perubahan,” begitu janjinya. Namun siapa yang dia maksud dengan “kita”? Sebab dalam praktiknya, yang dia maksud adalah “aku dan kroni-kroniku.”

Potensi rekan-rekan organisasi? Terkubur dalam-dalam, tenggelam di balik bayang-bayang arogansi kepemimpinannya. Dia lupa – atau mungkin sengaja melupakan – bahwa dalam cermin kemanusiaan, justru dialah yang tampak kerdil. Pemimpin yang gagal mengemban amanah, gagal memimpin dengan nurani.

Mungkin bagi sebagian orang, kisah ini terdengar seperti naskah sinetron murahan – terlalu dramatis untuk menjadi kenyataan. Namun bukankah realitas terkadang lebih pahit dari fiksi? Bayangkan jika sosok seperti ini benar-benar ada, berkeliaran di sekitar kita, memimpin organisasi-organisasi vital dalam kehidupan bermasyarakat.

Pertanyaannya kemudian: layakkah gelar “pemimpin” disandang oleh sosok yang menggadaikan integritasnya pada altar kekuasaan? Pantaskah julukan “manusia” dilekatkan pada pribadi yang bertingkah bagai serigala berbulu domba – menggunakan kedok kesucian untuk memangsa apa yang seharusnya dia lindungi?

Namun di tengah kegelapan ini, masih ada secercah harapan. Kisah ini, entah fiksi atau realita, adalah sebuah pengingat keras bagi kita semua. Pengingat bahwa kepemimpinan sejati tidak diukur dari kemampuan memanipulasi atau lihai bersilat lidah. Kepemimpinan sejati adalah tentang pengabdian, tentang kemampuan membawa perubahan positif, tentang keberanian untuk menempatkan kepentingan bersama di atas ambisi pribadi.

Mungkin sudah saatnya kita berani bersuara, berani mengatakan “tidak” pada kepemimpinan yang mengerdilkan nurani. Sebab dalam diamnya kita, dalam toleransi berlebih kita terhadap kepalsuan, kita ikut menjadi bagian dari masalah – bukan solusi.

Loading