Ruang kerja itu tampak begitu rapi. Dinding-dindingnya dihiasi berbagai penghargaan dan sertifikat prestasi yang dibingkai apik. Di sudut ruangan, sebuah sajadah terlipat rapi – memberikan kesan kesalehan sang pemilik ruangan. Namun, di balik kesempurnaan tatanan itu, tersimpan kisah yang jauh dari kata suci.

Pak Pisang – sebut saja demikian – adalah potret nyata bagaimana kekuasaan dapat mengubah sosok yang dahulu dikenal sederhana. 5 tahun menjabat sebagai pimpinan di negeri antah berantah, transformasinya begitu dramatis. Dari penampilan sederhana kini berganti menjadi tampilan mewah. Dari kendaraan merakyat kini berganti jajaran kendaraan premium. Semua itu dia cap sebagai “rezeki dari Allah” – sebuah narasi yang dia bangun untuk menutupi jejak-jejak abu-abunya.

“Beliau sangat religius. Setiap hari selalu mengajak dan mengingatkan stafnya untuk tidak lupa beribadah,” ujar Rudi, salah satu stafnya. Namun di balik kesalehan yang terpampang itu, praktik fee tender melalui “orang kepercayaannya” dan mark-up anggaran menjadi ‘ibadah’ hariannya yang lain. Setiap proyek yang masuk harus melalui “pemberkatan” – istilah halus untuk praktik bagi-bagi jatah. Yang menolak akan tersisih, yang patuh akan diberi “hidayah” berupa proyek-proyek menggiurkan.

Dalam setiap pidatonya, kata “integritas” dan “anti-korupsi” selalu menjadi bumbu pemanis. Seminar dan workshop tentang good governance rajin dia hadiri. Bahkan, tak jarang dia menjadi pembicara utama. Sungguh ironis ketika sosok yang getol mengkampanyekan kejujuran justru lihai memainkan peran dalam sandiwara kepalsuan.

Di media sosial, profilnya bersih tanpa cela. Update status yang dibuat oleh tim propaganda bernuansa religius dan quote-quote bijak tentang kepemimpinan berseliweran di linimasa. Public relation yang dia bangun begitu sempurna, menciptakan citra pemimpin ideal yang taat dan bersih. Namun, seperti kata pepatah – sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga.

Kisah Pak Pisang adalah cermin dari fenomena yang kian marak di era modern. Para pemimpin yang mahir memainkan peran, menggunakan agama dan moralitas sebagai tameng, sementara di balik layar, pragmatisme dan keserakahan menjadi motor penggerak sejati. Mereka adalah maestro dalam seni kamuflase – mengubah keburukan menjadi seolah kebajikan, menyelubungi keserakahan dengan jubah kesucian.

Kritik terhadap fenomena ini perlu disuarakan, bukan untuk menjatuhkan, tapi sebagai alarm pengingat bahwa kepemimpinan sejati tidak diukur dari pandainya berretorika atau hebatnya pencitraan. Kepemimpinan sejati tercermin dari konsistensi antara ucapan dan tindakan, antara citra yang dibangun dengan realitas yang dijalankan.

Mungkin sudah saatnya kita lebih jeli dalam menilai para pemimpin. Bukan sekadar terpesona pada kesalehan yang ditampilkan atau pidato-pidato memukau yang disampaikan, tapi lebih pada substansi dan konsistensi antara kata dan perbuatan. Sebab kepemimpinan yang dibangun di atas pondasi kepalsuan, cepat atau lambat akan runtuh, meninggalkan puing-puing kekecewaan bagi mereka yang pernah percaya.

Loading