Oleh: Ekky Yudistira Adi Nugraha
Wartawan berandaindonesia.id

TAHUN politik selalu menjadi ujian berat bagi independensi pers. Seperti api yang harus dijaga agar tetap menyala namun tidak membakar, demikian pula integritas jurnalistik harus terus dipelihara di tengah godaan pragmatisme politik. Namun apa jadinya ketika para penjaga api justru bermain dengan korek api?

Sebuah ironi mencuat ketika oknum wartawan senior di sebuah kabupaten, yang notabene menyandang sertifikasi UKW Madya dan Utama serta memegang posisi strategis di PWI, justru terlibat aktif dalam tim pemenangan kandidat kepala daerah. Ini bukan sekadar cerita tentang satu oknum, melainkan cermin yang memantulkan tantangan besar dunia pers kita.

Mengapa ini penting? Wartawan bukanlah sekadar pencatat peristiwa. Dalam konteks Pilkada, pers adalah mata dan telinga publik, penjaga gawang demokrasi yang memastikan masyarakat mendapat informasi berimbang untuk menentukan pilihan. Ketika wartawan berpihak, maka yang terdistorsi bukan hanya berita, tetapi juga kualitas demokrasi itu sendiri.

Mari sejenak merefleksikan dampak yang lebih luas. Ketika wartawan senior yang seharusnya menjadi teladan justru menunjukkan keberpihakan politik, ini menciptakan efek domino yang berbahaya. Para wartawan muda kehilangan role model, standar profesionalisme menjadi kabur, dan yang paling mengkhawatirkan: publik kehilangan kepercayaan pada media sebagai pilar keempat demokrasi.

Fenomena ini sebenarnya membuka diskusi yang lebih fundamental: bagaimana merevitalisasi peran pers di era politik kontemporer? Jawabannya terletak pada tiga pilar utama:

Pertama, penguatan literasi media di kalangan wartawan sendiri. Kompetensi teknis (UKW) harus diimbangi dengan pemahaman mendalam tentang peran pers dalam demokrasi. Wartawan bukan sekadar profesi, tapi panggilan untuk melayani kepentingan publik.

Kedua, revitalisasi organisasi profesi. PWI dan organisasi wartawan lainnya harus berperan lebih dari sekadar administratif. Mereka harus menjadi garda depan dalam menjaga marwah profesi, termasuk berani mengambil sikap tegas terhadap anggotanya yang melanggar etika.

Ketiga, membangun ekosistem pers yang sehat. Ini melibatkan banyak pihak: pemilik media yang menghormati independensi redaksi, pemerintah yang menjamin kebebasan pers, dan masyarakat yang kritis terhadap media.

Gerakan #KembalikanMarwahPers yang diinisiasi wartawan muda adalah secercah harapan. Ini menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya independensi masih hidup di kalangan generasi baru jurnalis. Namun, gerakan ini perlu diterjemahkan ke dalam langkah-langkah konkret.

Dewan Pers perlu mengambil peran lebih proaktif. Tak cukup hanya menunggu aduan, saatnya membangun sistem deteksi dini terhadap potensi pelanggaran etika jurnalistik, terutama di tahun politik. Sanksi harus tegas dan mendidik, bukan sekadar administratif.

Bagi para wartawan muda, kasus ini hendaknya menjadi momentum pembelajaran. Bahwa integritas bukan soal senioritas, melainkan komitmen personal terhadap nilai-nilai fundamental jurnalistik. Justru di tengah krisis teladan inilah, generasi baru wartawan harus tampil sebagai pembawa obor independensi.

Pilkada 2024 akan menjadi titik kritis. Pers akan diuji: apakah mampu menjadi pewarta yang objektif atau justru terjebak menjadi corong kepentingan politik? Jawabannya ada di tangan kita semua.

“Revolusi etika dalam jurnalisme Indonesia” yang didengungkan bukanlah utopia. Ini adalah kebutuhan mendesak jika kita ingin memastikan pers tetap relevan sebagai pilar demokrasi. Saatnya membuktikan bahwa api independensi pers masih menyala terang, menerangi jalan demokrasi kita.

Loading