
Di tengah gemerlap pembangunan di Kabupaten Kutai Timur yang merayakan ulang tahunnya ke-25, sebuah ironi terpampang nyata di jantung pusat pemerintahan.
Masjid Agung Al Faruq, ikon kebanggaan masyarakat Kutai Timur berdiri megah di Bukit Pelangi, kini harus berjuang melawan debu yang mengepul dari aktivitas galian golongan C diduga tak berizin yang berada tepat dibelakangnya.
Ekky Yudistira, Sangatta
SORE itu, ketika azan waktu salat Asar berkumandang dari menara masjid, deru mesin diesel ekskavator bersaing keras, seolah tak mau kalah.
Sejumlah pejabat pemerintahan dan masyarakat yang menunaikan salat Ashar harus rela melangkahkan kaki di atas lantai ubin putih yang sebagian terselimuti debu terutama pada sisi belakang masjid.
“Setiap hari saya melihat pengurus masjid harus bekerja ekstra membersihkan masjid. Rasanya seperti pekerjaan yang tak ada habisnya. Begitu selesai dibersihkan, tak lama kemudian debu datang lagi,” ujar Pak Imron bukan nama sebenarnya, salah seorang warga yang baru saja menunaikan saat Asar pada Jumat sore, 11 Oktober 2024.
Tak jauh dari masjid, sejumlah pekerja bangunan yang sedang membuat drainase dan turap di sekitar rumah pengurus masjid menjadi saksi bisu fenomena liar ini. Mereka harus rela menikmati kopi mereka dengan tambahan “rasa tanah” yang tak diundang.
“Kadang kami bercanda, kopi kami kaya mineral,” ucap salah seorang pekerja, sambil terkekeh getir.
Pemandangan tiga unit ekskavator yang terus menerus mencakar tanah di lokasi menanti antrean sejumlah truk jungkit mengisi bak penuh.
Lalu lalang truk jungkit tampak pongah melaju di atas aspal menebar debu menjadi pemandangan saban hari di kawasan Bukit Pelangi.
Hijau daun tanaman di sekitar lokasi pun tak luput dari sapuan debu, menciptakan panorama suram di tengah upaya penghijauan kota.
Hal lebih mengherankan, fenomena ini terjadi tepat di bawah hidung pusat pemerintahan.
Bukit Pelangi bukan hanya rumah bagi Masjid Agung Al Faruq, tapi juga berbagai kantor Organisasi Perangkat Daerah, Kantor Bupati dan DPRD Kutai Timur serta Forkopimda berdiri kokoh di kawasan itu.
Namun seolah ada kabut tebal yang menghalangi pandangan mereka bagaikan pepatah “gajah di pelupuk mata tak tampak”.
“Kami sudah beberapa kali menginformasikan, tapi sepertinya informasi yang kami sampaikan hilang di tengah hiruk pikuk birokrasi. Padahal, dampaknya bukan hanya pada estetika pusat pemerintahan, tapi juga kesehatan masyarakat,” ungkap Yanti nama samaran, salah seorang warga yang sering berkunjung ke Bukit Pelangi bersama keluarganya.
Ironi pembangunan ini menjadi cermin bagi Kutai Timur yang kini genap berusia 25 tahun. Di satu sisi, semangat pembangunan terus berkobar. Namun di sisi lain, pengawasan dan penegakan hukum seolah tertinggal jauh di belakang.
Saat matahari mulai tenggelam, debu perlahan mengendap. Namun pertanyaan tetap mengambang di udara. Sampai kapan fenomena ini akan dibiarkan? Akankah ada tindakan nyata dari pihak berwenang, atau akankah Masjid Agung Al Faruq dan lingkungan sekitarnya terus menjadi saksi bisu dari pembangunan yang tak terkendali?
Waktu terus berlalu, hingga suara azan Magrib berkumandang. Suara azan dari pengeras suara masjid kembali bersaing dengan deru mesin yang masih enggan berhenti. Di Kutai Timur, pergulatan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan masih jauh dari kata usai.(q)