MALAM semakin larut, gedung DPRD Kutai Timur tampak kian sepi. Jarum jam menunjukkan Pukul 23.40 WITA pada Senin 30 September 2024.
Kala itu Wakil Ketua I DPRD Kutai Timur, Sayid Anjas, keluar dari ruang rapat paripurna. Wajahnya tampak capek dan kantuk. Memakai jas dan kopiah hitam, dia duduk di bangku panjang lantai dasar gedung parlemen berlokasi di Bukit Pelangi Sangatta.
Dia tersenyum menyambut pewarta yang sedari tadi mencarinya untuk sebuah wawancara.
Dia mulai menyapa. Tak langsung menanggapi pernyataan seputar kontroversi yang kini melingkupi posisinya sebagai wakil ketua I DPRD Kutai Timur.
Sejurus kemudian, dia mengajak diskusi. Lalu melempar tanya pada pewarta, “Mau tanya soal apa? Saya masih capek dari Samarinda langsung mengikuti rapat paripurna. Belum ada istirahat juga tidur,” katanya membuka pembicaraan.
Usai diberi sejumlah pertanyaan seputar pemberitaan dirinya terkait proses dilantik menjadi unsur pimpinan dewan ditengarai terjadi kesalahan administrasi. Tak menunggu lama, ia langsung saja memberi tanggapan.
“Kalau memang terjadi kesalahan administrasi, silakan saja diperbaiki ke DPP sana,” ujarnya.
Anjas mengeluarkan pernyataan demikian menanggapi Ketua Harian DPD Golkar Kutai Timur, Rudi Hartono mengenai adanya kesalahan dalam surat rekapitulasi nama calon pimpinan DPRD se-Kaltim yang dibuat DPD Golkar Kaltim ditujukan ke DPP. “Tapi nanti kita lihat siapa yang benar dan siapa yang salah,” ucap Anjas.
Pernyataan Anjas ini bukan sekadar retorika politik biasa. Di baliknya, tersembunyi kisah rumit tentang ambisi, loyalitas partai, dan interpretasi aturan yang kini mengguncang internal Partai Golkar di Kutai Timur.
Antara Suara Terbanyak dengan Kriteria Partai Golkar
KONTROVERSI ini bermula dari kebijakan yang mengutamakan caleg dengan perolehan suara terbanyak di Pemilu 2024 untuk menduduki kursi pimpinan DPRD. Namun, Anjas dengan tegas mengingatkan bahwa di Partai Golkar, ada lima kriteria yang harus dipenuhi, dan perolehan suara terbanyak hanyalah salah satunya.
“Pertama, pernah menjabat sebagai anggota DPRD minimal satu tahun. Kedua, pernah menjabat ketua, sekretaris atau bendahara di Partai Golkar. Ketiga pendidikan terakhir minimal sarjana (S1). Keempat pernah menjabat pada struktur kepengurusan setingkat di atasnya. Kelima, memiliki suara terbanyak di Pemilu,” papar politikus kelahiran 23 Maret 1981 ini.
Penjelasan Anjas ini seolah membuka tabir tentang kompleksitas politik internal partai. Di satu sisi, ada tuntutan untuk menghormati suara rakyat melalui perolehan suara terbanyak. Di sisi lain, ada kebutuhan partai untuk menempatkan kader yang dianggap berpengalaman dan loyal.
Kesalahan Administrasi atau Manuver Politik?
Ketua Harian DPD Golkar Kutai Timur, Rudi Hartono mengklaim adanya kesalahan administrasi dalam surat rekapitulasi. Dia menyoroti penulisan jabatan Asti Mazar yang tertulis sebagai bendahara DPD Golkar Bontang, bukan Kutai Timur.
“Kemungkinan Bu Asti tidak jadi dipilih menjadi pimpinan DPRD Kutai Timur karena dalam rekap itu tertulis jabatan sebagai bendahara DPD Golkar Bontang. Seharusnya, Bu Asti sebagai bendahara DPD Golkar Kutai Timur,” jelas Rudi saat konferensi pers di sebuah kafe di Sangatta pada siangnya, Senin 30 September 2024.
Namun, benarkah ini hanya sekadar kesalahan administrasi atau ada manuver politik di baliknya? Pertanyaan ini menggantung di udara, menciptakan tensi tersendiri dalam dinamika politik Kutai Timur.
Sejarah dan Preseden
Sayid Anjas tidak lupa mengingatkan pemilihan pimpinan DPRD berdasarkan suara terbanyak bukanlah hal baru di Kutai Timur. Dia mencontohkan Mahyunadi yang menjadi ketua DPRD periode 2014-2019 dan Encek UR Firgasih untuk periode 2019-2024, keduanya tidak dipilih berdasarkan perolehan suara terbanyak.
Fakta ini menambah lapisan kompleksitas pada situasi saat ini. Apakah preseden ini masih relevan di tengah tuntutan perubahan dan transparansi dalam politik?
Loyalitas vs Aspirasi Rakyat
Di tengah pusaran kontroversi ini, Sayid Anjas memperlihatkan sikap yang menarik. Meski tegas membela posisinya, dia juga menyatakan kesiapannya untuk diganti jika memang itu keputusan partai.
“Kalau memang keputusan partai untuk mengubah SK, ya saya selaku petugas partai siap saja diganti. Tidak jadi masalah,” ujarnya.
Pernyataan ini menggambarkan dilema klasik yang dihadapi banyak politisi: loyalitas pada partai versus aspirasi rakyat yang tercermin dari perolehan suara.
Politik Lokal yang Kompleks
Kisah di balik kursi pimpinan DPRD Kutai Timur ini membuka mata kita pada kompleksitas politik lokal. Di balik jabatan dan kursi kepemimpinan, ada tarik-menarik kepentingan, interpretasi aturan, dan dinamika internal partai yang rumit.
Saat ini, bola ada di tangan DPP Golkar. Apapun keputusannya nanti, satu hal yang pasti: politik di Kutai Timur akan terus menarik untuk diikuti. Seperti kata Sayid Anjas, “Nanti kita lihat siapa yang benar dan siapa yang salah.”(Q)
Discussion about this post