SAMARINDA – Menyusuri bantaran Sungai Karang Mumus tidak jauh dari Jembatan S. Parman sebelum jembatan gelatik disisi kiri masuk Wilayah kelurahan Temindung Permai kita akan menemukan seorang pria muda dengan telatennya memilah-milah kedelai, mencucinya dan merebusnya hingga masak.
Apa yang dilakukannya itu adalah bagian dari proses pembuatan tempe secara tradisional yang ia kembangkan dan kerjakan sendiri tanpa dibantu siapapun. Ia adalah Bambang Priambodo, Pemuda berusia 28 tahun Asal Kecamatan Bangsri Kabupaten Blitar Jawa Timur.
Bambang biasa disapa oleh tetangganya dan pedagang di Pasar biasa dia menjual hasil olahannya, baru tiga bulan merintis usaha tempe sendiri. “Sebelumnya saya kerja sama orang di Tenggarong Seberang, begitu ada modal Rp3,5 juta saya beranikan diri membuka usaha pembuatan industri Tempe,” kata Bambang saat ditemui di dapur alamnya saat memproses perebusan bahan pembuatan tempe, Senin Sore, 19 Februari 2024.
Pada awalnya, lanjut Bambang, saya memulai usaha mandiri sejak akhir November 2023 lalu, “dari sekarang lebih kurang tiga bulan saya menggeluti usaha tempe. Awalnya saya beli kedelai eceran hanya 25 kg dengan harga sekitar Rp175.000,” jelasnya.
Dari uang yang ada ia gunakan untuk membayar kontrakan, beli tempat untuk meniriskan dan mencuci kedelai, membeli drum bekas untuk proses merebus kedelai, motor bekas untuk transportasi. “Awal usaha harga kedelai masih murah satu karung isi 50 kg cuma Rp350.000, tapi sekarang (Senin, 19 Februari 2024)
Harga kedelai import Rp575.000 per50kg. Tapi ini sudah turun dibanding Minggu, 18 Februari 2024 harganya mencapai Rp650.000 / karung isi 50 kg.” papar Bambang.
Selepas belanja kedelai dan ragi, biasanya di Toko Hajjah Nunung atau kadang di Ahong Pasar Segiri Samarinda, Bambang memulai mencuci dengan merendam kedelai menggunakan kran,
Dalam proses ini, biji kedelai yang mengapung di air akan dibuang karena kualitasnya tidak bagus.
Lalu melakukan perebusan hingga mendidih. “Setelah mendidih dan dirasa mulai empuk kedelainya kita angkat, cuci lagi dan masukkan ke dalam drum plastik untuk didiamkan selama 24 jam.”
Lebih lanjut Bambang menjelaskan setelah permentasi 24 jam, kita angkat dan cuci agar lendir-lendirnya dari kacang kedelai itu hilang. “Pokoknya harus bersih dari lendir, karena belum punya alat, kadang jika terpaksa perlu di injak-injak gunakan kaki agar kulit kedelai dan lendirnya cepat hilang. Karena jika ada lendir yang tersisa maka rasa tempenya tidak akan enak, agak pahit-pahit gitu,” terang pria yang masih lajang ini.
Ketika dirasa sudah mulai keset tidak ada lendirnya, kedelai dilakukan perebusan ulang hingga mendidih. Dan jika sudah mendidih diangkat dan di hampar di atas tikar hingga dingin untuk dicampur dengan ragi sebagai pengembang.
“Setelah dilakukan peragian dari proses ini kita bungkus sesuai ukuran permintaan pasar menggunakan plastik, dan kita diamkan paling tidak tiga hari baru akan menjadi tempe kualitas bagus,” terang Bambang.
Seiring berjalannya waktu, Proses pembuatan tempe ini, kini Bambang yang awal produksinya hanya 25 kg kedelai, saat sekarang sudah 65 kg kedelai setiap produksi. “Saya sedang memesan alat untuk pengupasan kulit kedelai, produksi dari Pemalang Jawa Tengah. Semoga dengan adanya alat itu memudahkan dalam proses produksi tempe,” harapnya.
Setiap hari Bambang memasarkan tempe hasil olahannya di lapak Jalan Kehewanan dan ada juga kios di Pasar Sungai Dama baru. Berangkat dari kontrakan jam 04.00 pagi, jam 06.30 sudah bisa pulang. “Pengalaman saya dalam menjalankan bisnis tempe ini yang penting jauhi maksiat, insyaallah rejeki mengalir terus. Tapi manakala sekali saja berbuat maksiat, akan susah mengembalikan rejeki agar mengalir seperti mata air,” tuturnya.
Disinggung mengenai omzet Bambang menjelaskan setiap 50 kg kedelai jika menjadi tempe, uangnya hasil penjualannya berkisar Rp1.270.000,-. “Dari Bisnis tempe ini Alhamdulillah keuntungnya bisa untuk membantu orang tua dan saudara di Jawa.” pungkas Bambang.(mn)
Discussion about this post