Fenomena Citayam Fashion Week (CFW) yang digelar secara tak resmi oleh berbagai remaja tanggung dari berbagai wilayah di jakarta pusat di kawasan Stasiun MRT Dukuh dengan aksi peragaan busana di zebra cross layaknya Paris Fashion Week mulai diikuti oleh para remaja di Kutim.
Bedanya, jika Citayam Fashion Week merupakan sebuah ajang pagelaran busana yang menjadikan jalanan sebagai panggung peragaan busana, dan viral karena keunikan gaya berpakaian dan kepolosan para remaja yang berpartisipasi di dalamnya. Sahara Illegal Street Racing (SIRS) di Kota Sangatta lebih menpertontonkan aksi kenakalan remaja dalam menggilas kerasnya aspal dengan kendaraan yang tidak sesuai standart.
Perlu digaris bawahi, jika CFW di Jakarta pusat dianggap mengganggu lalu lintas dan pengguna jalan akibat menjadikan zebra cross sebagai catwalk, SIRS lebih tak patut ditiru dan layak menjadi sorotan berbagai stakeholder terkait di Kutai Timur mengingat tingginya resiko terjadinya lakalantas baik antar pembalap liar ataupun pengguna jalan lainnya yang melintasi Tikungan Sahara yang merupakan salah satu bagian dari Jalan Poros Yos Sudarso I yang terletak di Sangatta Lama, Kecamatan Sangatta Utara tersebut.
Baru baru ini, CFW dikabarkan sepi pasca petugas keamanan setempat sempat melarang catwalk CFW dilakukan di zebra cross Dukuh Atas. Anak baru gede (ABG) yang biasanya dikenal dengan ‘SCBD’ atau Sudirman, Citayam, Bojonggege, Depok tak nampak lagi memadati lokasi tersebut.
Namun hal sebaliknya bagi SIRS di Sangatta, saat patroli Satlantas Polres Kutim melakukan patroli dan bahkan sering memberikan teguran hingga sanksi, aksi mereka tetap dilanjutkan dengan melakukan re-schedule ‘jam tayang’ mereka mengggilas aspal menjadi dibawah ataupun diatas jam patroli Satlantas Polres Kutim. Seringkali mereka malah hanya berpindah tempat ke kawasan lainnya yang dinilai ‘aman’ dari intaian Satlantas.
SIRS Ajang Uji Nyali dan Juga Berjudi Remaja Tanggung
Satu lagi perbedaan mencolok antara CFW dengan SIRS yang dilakukan oleh para remaja tanggung yang masih duduk di bangku sekolah dasar, tingkat pertama hingga SLTA di Kutim. CFW lebih mengarah kepada fashion, aktualiasasi diri, hingga pemupukan bakat personal yang hanya perlu adanya bimbingan dan edukasi untuk pengarahan ke hal yang lebih positif dari orang tua dan stakeholder terkait untuk menjembatani hal tersebut sehingga manfaat atas kegiatan tersebut dapat dibilang ‘masih ada’.
Sedangkan dalam SIRS, para remaja yang berpartisipasi, selain menunjukkan kepiawaian dalam hal berkendara tanpa adanya perlengkapan keamanan berkendara yang memadai hanya demi pengakuan sebagai ‘pembalap handal’ yang belum tentu juga dapat memenangkan kejuaraan drag race resmi di sirkuit, namun malah mempertaruhkan keselamatan, nyawa sendiri maupun orang lain.
Mirisnya lagi, beberapa dari partisipan SIRS malah menggunakan moment tersebut sebagai ajang taruhan baik dengan pembalap liar dari dalam ataupun luar kota.
“Keren pastinya, jika bisa menang apalagi jika ada taruhannya. Biasanya lawan dari Bontang ataupun Kecamatan lainnya di Kutim. Taruhannya biasanya 2 hingga 5 juta, iuran tentunya. Kan ada grupnya masing masing,” ujar salah seorang partisipan SIRS saat ditemui ketika tengah berhenti dari aksi gilas aspal yang dilakukannya dan berganti tugas menjadi ‘mata’ remaja tanggung lainnya yang tengah asik berbalap ria dari kemungkinan sergapan petugas Satlantas.
Lemahnya Pengawasan dan Kontrol Orang Tua Terhadap Anak
Fenomena SIRS di Kutim, merupakan bukti adanya ‘kebebasan berlebihan’ serta kurangnya kontrol orang tua dan juga kurangnya kepedulian masyarakat hingga stakeholder terkait. Bukan terkait harus adanya sirkuit untuk mewadahi para abg tersebut untuk berbalap ria. Namun lebih terkait kesadaran para orang tua akan keselamatan anaknya serta warga dan tokoh masyarakat baik RT, Desa di sekitar lokasi SIRS.
Penggunaan motor bagi para abg labil yang dapat dipastikan 100% tidak memiliki surat izin mengemudi (SIM) tentu merupakan suatu pelanggaran lalu lintas terlebih tanpa adanya edukasi terkait savety riding dan pengawasan oleh orang tua maupun stakeholder terkait membuat kegiatan tersebut semakin tidak dapat dibenarkan.
Ditambah ketidak pedulian warga ataupun tokoh masyarakat, baik di tingkat RT ataupun desa di sekitar lokasi balap liar membuat aksi yang mengganggu ini seakan memperoleh restu dari warga setempat yang sering malah hanya menonton jalannya SIRS dan membuat puluhan remaja tanggung tersebut semakin berani
Adanya SIRS setiap Hari Jum’at dan Sabtu Malam yang dimulai pukul 23.00 Wita, membuat banyak anak remaja baik lelaki maupun perempuan berada di jalanan baik untuk menonton ataupun melakukan aksi balap liar. Meningkatkan potensi besar terjadinya tindakan kriminal ataupun asusila mengingat kegiatan tersebut dilakukan dalam ‘waktu rawan’.
Beberapa warga di sekitar dan juga pengendara yang melintas mengakui terganggu akan adanya kegiatan tersebut, namun mereka juga menyebutkan bahwa hal tersebut bukan dalam kontrol mereka untuk menegur, mengingat banyaknya remaja di lokasi tersebut yang disinyalir juga dalam keadaan mabuk akibat ngelem, ngomix, ataupun akibat miras.
Razia dan patroli yang sering dilakukan oleh petugas juga dirasa warga tidak berdampak maksimal mengingat terus berulangnya aksi itu di daerah tikungan Sahara.
“Pernah di razia, diangkut ke Satlantas, namun beberapa hari kemudian mulai lagi, kami harap ada tindakan yang lebih tegas, pelaku balap liarnya ya itu itu saja, pasti Satlantas sudah punya datanya. Kami takut jika kami yang bertindak malah jadi sasaran mereka,” ujar beberapa warga di sekitar lokasi.(Redaksi).
Discussion about this post