Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi V, jelas diartikan bahwa imitasi adalah tiruan alias bukan asli. Bicara soal imitasi, di era saat ini imitasi nampaknya lebih mendapat tempat di masyarakat. Bahkan imitasi semakin mengakar hingga menjadi candu dan membuat masyarakat ketergantungan. Mungkin karena secara umum sesuatu yang imitasi mudah di dapat dan murah pula harganya.
Saking menjamurnya, dinamika penggunaan sesuatu yang “berbau” imitasi merambah ke segala lini kehidupan. Tak hanya benda atau produk semata, melainkan menggurita sampai kepada hal-hal yang sifatnya perilaku serta profesi. Tapi harus diingat, sesuatu yang “palsu” pasti ada dampak negatifnya. Paling atas, tentu turunnya kadar kualitas. Hal tersebut terjadi karena dalam proses peniruan, ada sebagian informasi, bahan, kajian, hingga ilmu pengetahuan yang tidak terserap dengan baik yang disebabkan oleh berbagai faktor.
Dalam proses imitasi barang contohnya, hal tersebut sengaja dilakukan oleh produsen untuk menciptakan barang baru yang memiliki desain dan tampilan sejenis dengan kualitas lebih rendah. Maksudnya biar saat dijual harganya lebih terjangkau. Tapi yang namamya kualitas rendah, jangan harap bisa awet da tahan lama. Lantas bagaimana sesuatu yang menyangkut profesi saat dijadikan imitasi? Pastinya informasi, ilmu pengetahuan, tingkat kecerdasan hingga etika dan prinsip sedikit dikesampingkan.
Imitasi profesi menjadi topik yang akan ditonjolkan dengan lebih spesifik terhadap profesi jurnalis. Di era digital yang dibarengi derasnya arus informasi dan menjamurnya berbagai platform media pemberitaan daring, tentunya ulasan “jurnalis imitasi” dan “media imitasi” ini menjadi menarik. Sebab marak terjadi saat ini banyak jurnalis “ujuk-ujuk” menjadi wartawan tanpa modal keahlian atau latihan. Hal itu diperparah sang jurnalis bernaung dalam media yang standardisasi keredaksiannya masih tanda tanya.
Secara garis besar, menulis berita merupakan salah satu tugas pokok jurnalis di lapangan. Dalam hal ini para “kuli tinta” harus mengumpulkan berbagai detail informasi terkait peristiwa atau kejadian secara runut dengan mengidentifikasi narasumber yang memiliki kompetensi untuk dijadikan narasumber dalam berita. Selain itu, awak media juga dituntut untuk dapat mengambil, mengabadikan suatu momen atau kejadian yang menarik dan layak diangkat sesuai dengan tema berita yang ditulis.
Namun untuk menjadi jurnalis atau wartawan profesional, nyatanya gampang-gampang susah dan perlu latihan peliputan bertahun-tahun untuk mengimplemetasikan visi melalui sebuah misi peliputan yang mengedukasi tanpa mengurangi esensi.
Untuk urusan menulis, sebenarnya bisa dilakukan oleh seorang marketing, pengusaha, ataupun politikus sekalipun. Tapi menjadi jurnalis kompeten “tak semudah itu Ferguso” (kalimat candaan kekinian mengambil nama satu pemeran di serial telenovela Little Missy, untuk mengibaratkan sesuatu yang sulit). Tantangannya yang menjadi kerumitan menjadi jurnalis terletak pada etika profesi, prinsip kerja dan karakter.
Misalnya saja profesi marketing atau pengusaha, proses negosiasi untuk mendapatkan target yang telah dicanangkan ataupun meraih proyek baru menjadi hal lumrah dan wajar dilakukan. Dalam profesi ini, empati dan etika bukan menjadi suatu hal yang mutlak diperlukan. Pertimbangan yang sering dilakukan ialah terkait faktor ekonomi.
Sedangkan politikus yang nyambi sebagai jurnalis, biasanya menulis tak sepenuh jiwa untuk menyampaikan fakta. Sebab biasanya politikus bergerak dan bertindak didasari oleh kepentingan kelompok dan partai yang dipikulnya, sehingga dalam proses imitasi yang dilakukan terhadap profesi jurnalis mendapati dua kegagalan. Yakni dari segi independensi dan kepentingan yang diemban.
Merujuk pada teori pers tanggung jawab sosial (Ardianto, 2004: 151), mewajibkan pers untuk bertanggung jawab kepada masyarakat dalam melaksanakan tugas pokoknya, seperti dalam menyiarkan berita harus objektif. Berkewajiban memenuhi hak-hak publik mendapatkan informasi yang benar. Salah satu elemen jurnalisme Bill Kovach (Kovach, 2001:59) merupakan dasar pertimbangan dalam menjalankan praktik jurnalisme. Yakni loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga. Konsekuensinya, dalam menjalankan tugas, jurnalis memiliki kewajiban mengutamakan kepentingan publik.
Nah mirisnya, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, candu imitasi yang telah merebak dan menginfeksi masyarakat secara massal menjadi semakin terbuka. Tanpa adanya “vaksin” sebagai penawarnya. Seperti dalam kasus pandemi COVID-19 yang menggegerkan dunia dalam beberapa tahun terakhir dan memerlukan vaksinasi massal.
Masyarakat awam hingga pejabat publik yang notabene tidak begitu memahami konsep jurnalistik dan menulis standar jurnalis popfesional, lebih mengenal Harajuku Style, K-POP dengan Boy dan Girl Band yang bening bling bling. Bahkan tidak menyadari terjadinya pergeseran profesi jurnalis. Padahal dulu, dari berbagi kisah para wartawan utama, seorang jurnalis dipenuhi oleh orang yang memiliki etika, simpati dan empati tinggi dalam memperjuangkan kepentingan warga. Sedihnya, kini yang terjadi orang-orang dengan basic marketing, pengusaha, hingga politikus murni dengan keahlian menulis seadanya, ramai “go public” dengan melabeli diri “jurnalis”.
Mereka tidak menyadari bahwa informasi, berita yang dikonsumsi dan beredar dengan mudah diberbagai platform sosial media, tak lagi edukatif ataupun meneruskan suara dan jeritan ketimpangan akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat secara umum. Pembangunan yang tak merata seolah tak tersentuh oleh berita, layaknya hal yang biasa saja. Sebab jurnalis imitasi biasa hanya fokus pada kepentingan pribadi dan golongan dengan berbagai bentuk pencitraan.
Degradasi kualitas ini, semakin hari diperparah dengan adanya ketergantungan media akan kucuran dana dari “selangkangan” APBD/APBN tanpa ada tinjauan ataupun syarat khusus standardisasi mitra media, sehingga para jurnalis maupun media imitasi ini pun lolos sensor masyarakat. Pada akhirnya mendapatkan kembali bakat asli dengan ditutupi perilaku imitasinya sebagai jurnalis.
Dampak positifnya, pemberitaan kegiatan seremonial dari perusahaan, pemerintahan dari lingkup terkecil hingga terluas bertabur bak bintang-bintang di langit disetiap grup sosial media, mulai whatss app hingga facebook. Dari Twitter hingga Google. Sehingga masyarakat setiap hari hanya dijejali dengan doktrin bahwa perusahaan, wakil rakyat ataupun pemerintah telah berupaya dengan signifikan melakukan peningkatan pembangunan diberbagai bidang tanpa adanya proses pengawasan yang benar.
Dampak buruknya adalah kepercayaan masyarakat kepada penyandang profesi jurnalis asli yaitu wartawan yang murni bekerja sesuai kaidah, aturan dan etika jurnalistik menurun. Marwah profesi pun seolah tergadaikan akibat ulah para jurnalis imitasi.
Dilansir dari IMC NEWS.ID, dalam artikel berjudul “Dewan Pers Sebut 70 Persen Wartawan Tidak Paham Kode Etik” yang diterbitkan Rabu, 9 Februari 2022 lalu, dalam keterangan tertulis, anggota Dewan Pers Tri Agung menyampaikan bahwa banyak aduan yang diterima oleh Dewan Pers terkait judul dan juga pelanggaran lainnya. Khususnya terhadap Pasal I dan Pasal III Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang dilakukan oleh jurnalis. Hal senada dalam artikel tersebut juga diutarakan oleh anggota Dewan Kehormatan (DK) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Asro Kamal Rokan. Dia menekankan mengenai perlunya memahami dan menaati KEJ oleh jurnalis.
“Berdasarkan hasil survei Dewan Pers, terdapat sekitar 70 persen wartawan tidak memahami kode etik wartawan. Padahal, hal itu adalah kompetensi tertinggi wartawan sebenarnya. Itu di atas segala-galanya. Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang diadakan harus selalu mengacu hal itu,” kata mantan Pemimpin Umum LKBN ANTARA dalam artikel tersebut.
Melalui fenomena munculnya artikel diatas, dapat disimpulkan hanya 30 persen dari ribuan, jutaan orang dengan profesi jurnalis yang benar-benar memahami KEJ dan dapat diartikan merupakan jurnalis murni. Dari artikel tersebut juga diketahui bahwa jurnalis murni yang berkeliaran merupakan minoritas dalam hal menguasai roda pemberitaan.
Jadi, mulai sekarang kita harus pandai memilih dan memilah, melihat di sekeliling, apakah yang berada di sekitar kita jurnalis murni atau imitasi? invasi jurnalis imitasi harus di basmi ! Agar suara masyarakat dalam memperjuangkan harkat dan martabat tak lagi tersekat. Supaya warga tak lagi buta oleh kiprah jurnalis media imitasi yang hanya berpikir keuntungan semata.
Caranya, masyarakat harus lebih pandai menilai mana yang asli dan mana yang imitasi. Memantau jurnalis dan media asli dengan kompetensi maupun standardisasi melalui situs resmi Dewan Pers di dewanpers.or.id ataupun website konstituen dewan pers yang menaungi langsung jurnalis dan juga media.
Discussion about this post