WA Kartini Jalanan
Catatan Rizal Effendi
HARI Kamis ini, 21 April 2022 kita memperingati hari kelahiran Ibu Kartini, pahlawan emansipasi wanita Indonesia. Tahun ini kita memperingatinya dalam suasana bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah bagi umat Islam. Kartini juga dari keluarga Muslim. Kartini yang nama lengkapnya Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat ternyata tidak saja memperjuangkan hak-hak kaum wanita, tetapi juga gigih dalam melaksanakan syiar Islam.
“Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu,” kata Kartini, yang dilahirkan di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879. Pemahaman yang mendalam soal agama sepertinya turun dari ibunya bernama MA Ngasirah, anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Jepara. Sedang ayah Kartini, Raden Mas Sosroningrat, putra Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang bangsawan yang menjabat sebagai bupati Jepara. Karena itu Kartini bisa mengenyam pendidikan di Europese Lagere School (ELS) dan sempat belajar bahasa Belanda.
Saat mendalami masalah agama, Kartini yang bersuamikan Kanjeng Raden Mas (KRM) Adipati Singgih Djojo Adiningrat juga mempertanyakan mengapa laki-laki dapat berpoligami. Dan menga pa Kitab Suci itu harus dibaca dan dihapal tanpa perlu kewajiban untuk memahaminya.
Sepanjang perjuangannya, Kartini terkenal dengan kumpulan surat-suratnya yang ditujukan kepada sahabat penanya, yang kemudian disusun oleh Mr JH Abendanon, direktur Departemen Pendidikan Agama dan Kerajinan Pemerintah Hindia Belanda menjadi sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht, Gedachten van RA Kartini. Kemudian buku itu diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Setidaknya ada tiga surat Kartini yang mengumandangkan syiar Islam. Ketika dia mengirim surat kepada Ny van Kol, 21 Juli 1902, Kartini menulis seperti ini: “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang agama Islam patut disukai.”
Dalam surat lain yang ditulis Kartini kepada Ny Abendanon, 25 Agustus 1903, malah dia menyinggung puasa dan bulan Ramadan serta ketidaksukaanya kakinya dicium meski dia dari keluarga ningrat. “Ya Allah, alangkah malangnya; saya akan sampai di sana pada waktu puasa-Lebaran-tahun baru, pada saat-saat keramaian yang biasa terjadi setiap tahun sedang memuncak. Sudah saya katakan, saya tidak suka kaki saya dicium. Tidak pernah saya izinkan orang berbuat demikian pada saya. Yang saya kehendaki kasih sayang dalam hati sanubari mereka, bukan tata cara lahiriah.”
Satu lagi surat Kartini kepada Ny Abendanon pada 12 Desember 1903 yang menggambarkan kekuatan Allah berkaitan soal musibah. “Tidak, ia tidak mempunyai ilmu, tidak mempunyai jimat, tidak juga mempunyai senjata sakti. Kalaupun rumahnya tidak ikut terbakar, itu dikarenakan dia mempunyai Allah saja.”
Ustaz Dr Drs Sartono, MM dari Kantor Kementerian Agama Balikpapan melihat apa yang disampaikan Kartini dalam surat-suratnya, meski secara tekstual tidak ada dalil yang disampaikan, namun secara esensi ajaran Islam dan materi dakwah disampaikan oleh Kartini sangat berarti pada masa itu. “Metode mengirim surat ini seperti dilakukan Nabi Muhammad SAW ketika menyurati Raja Romawi,” kata Sartono.
Ketua Yayasan Sosial dan Dakwah Al Farohi Balikpapan Ustazah Ummu Hidayah, S Ag mengaku bangga Kartini yang dilahirkan di tengah-tengah masyarakat Jepara yang kuat keislamannya begitu gigih memperjuangkan kaum wanita bebas dari belenggu keterbatasan gerak dan kiprah kaum wanita pada saat itu.
Kartini memiliki kecerdasan yang mungkin tidak dimiliki oleh teman-teman sebayanya pada masa itu, kata Ummu, alumnus Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang. Karena Kartini sudah berani mengusulkan agar Alquran diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa, yang bertujuan untuk memudahkan orang awam agar lebih paham pada isi kandungan Alquran.
“Akhirnya usulan Kartini diterima dan jadilah tafsir Alquran yang bernama Faid Ar Rohman fii. Tafsir Al Quran karangan KH Sholeh Darat, guru ngaji Ibu Kartini,” kata Ustazah Ummu, yang yayasannya mendirikan TK Islam Plus, MI Plus Tahfidz dan Pesantren D’Lansia Tombo Ati.
Ibu Kartini meninggal dalam usia masih muda 24 tahun setelah melahirkan anak pertamanya, Soesalit Djojoadhiningrat pada tanggal 13 September 1904. Jenazahnya dikebumikan di Desa Bulu, Kabupaten Rembang. Tapi jasa-jasanya tetap dikenang sepanjang masa. Surat Kartini kepada Prof Anton dan istri, 4 Oktober 1901 berisi semangat Kartini untuk kemajuan wanita Indonesia. “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang besar sekali baik bagi kaum wanita yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu pendidik manusia yang pertama-tama.”
MENYAPU JALAN
Di sela-sela menjelang kita memperingati Hari Kartini, saya teringat ada seorang penyapu jalan di Balikpapan yang juga bernama Kartini. Wanita berusia 50 tahun ini mengaku bangga karena namanya sama dengan nama pahlawan pejuang emansipasi wanita Indonesia. “Sepertinya ibu saya sengaja memakai nama Ibu Kartini karena kebanggaan dan penghormatan Ibu kepada wanita Jepara itu,” kata Kartini, penyapu jalan yang bertugas di Jl Letjen R Soeprapto, Balikpapan Barat.
Kartini yang mempunyai dua anak hasil perkawinannya dengan Suparman ini, sudah 17 tahun bertugas sebagai penyapu jalan. “Sejak Bapak jadi wali kota saya sudah jadi penyapu jalan, apalagi suami saya sekarang sudah tidak bekerja,” katanya kepada saya. Suami Kartini dulu seorang security, tapi sudah 7 tahun dirumahkan. Mengisi waktunya, Suparman mengajari anak-anak tetangga belajar mengaji.
Sekarang Kartini menghidupi suami dan dua anaknya dengan gaji yang diterimanya sebesar Rp 2,2 juta lebih sebulan. Tapi anak saya yang tertua berusia 32 tahun sudah berkeluarga dan mempunyai dua anak. “Anak saya yang satu lagi akan menikah 15 Mei, Bapak hadir ya,” kata wanita bersaudara enam ini. Kartini anak keempat dan adiknya yang nomor 5 juga bekerja sebagai penyapu jalan.
Banyak suka duka dialami Kartini dalam menjalani pekerjaannya. “Saya pernah kejatuhan dahan pohon,” kata Kartini, yang tinggal di Jl Wolter Monginsidi RT 29. Tapi semua dijalaninya dengan tabah. Ia juga pernah bertugas 3 tahun di Jl MT Haryono.
Dikatakannya, pada bulan Ramadan ini produksi sampah rumah tangga meningkat. Begitu juga kekotoran di jalan bertambah karena banyak kendaraan yang melintas. Karena itu dia berharap peralatan kerja bisa ditingkatkan Pemkot seperti sapu, serok, dan gerobak.
Tadi malam seusai salat tarawih saya menerima pesan whatsapp (WA) dari Kartini. “Selamat memperingati Hari Kartini, ya Pak. Kartini adalah pahlawan emansipasi untuk wanita Indonesia. Seperti saya ini, Pak, bekerja membantu perekonomian keluarga, yang penting kita bahagia,” katanya.(*)
Discussion about this post