
SAMARINDA – Tenggelamnya Febi Abdi Witanto (25) Pada 31 Oktober 2021 di lubang tambang, perusahaan batubara CV. Arjuna menggenapkan jumlah korban lubang tambang di Kaltim menjadi 40 jiwa.
Meski kondisinya sudah separah itu, disinyalir bagi Pemerintah Provinsi korban lubang bekas tambang hanya sebatas angka statistik yang akan terus bertambah, tanpa ucapan duka apalagi tindakan.
Oleh karena itu aktivis dan mahasiswa Kalimantan Timur yang terdiri dari JATAM Kaltim, WALHI Kaltim, FH Pokja 30 Kaltim, FNKSDA serta mahasiswa dan mahasiswi Papua melakukan aksi merespon korban lubang bekas tambang yang tidak mendapat perhatian serta penanganan serius oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
Melalui press releasenya ke awak media, Dinamisator JATAM Kaltim, Pradarma Rupang, menduga Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor, melakukan pembiaran tanpa ada upaya reklamasi, penegakan hukum bagi korporasi yang tidak melakukan reklamasi dan tidak melakukan pengawasan. Hal ini menurutnya menunjukkan sifat masa bodoh Kepala Daerah selaku pemberi izin.
Oleh karena itu, menurutnya, koalisi masyarakat sipil memberikan penghargaan kepada Isran Noor sebagai ‘Gubernur Masa Bodoh’ itulah penghargaan yang menggambarkan sikap Kepala Daerah Kalimantan Timur ini.
“Sebagai apresiasi atas kerja masa bodohnya selama 3 tahun ini, yang diduga abai dan mendiamkan korban yang sudah mencapai 40 nyawa yang mayoritas korbannya anak-anak generasi penerus bangsa, maka koalisi memberikan piagam penghargaan tersebut di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur,” ujar Pradarma Rupang, Dinamisator JATAM Kaltim.
Yohana Tiko, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim menilai, kejadian meninggalnya anak di lubang bekas tambang bakal terulang jika tidak ada langkah strategis dari pemerintah.
“Problem berulang dari model ekonomi ekstraktif yang mengabaikan lingkungan hidup dan keselamatan rakyat seperti ini harusnya sudah beralih ke ekonomi nusantara sebagai ekonomi tanding yang bersih, berkelanjutan dan tidak mematikan,” ucapnya.
Menurut Akademisi Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, setelah operasi penambangan berakhir ada kewajiban yang mutlak dilakukan oleh pemegang izin tambang yakni melaksanakan reklamasi dan pasca tambang.
Ia mengatakan bahwa dalam ketentuan Pasal 161B ayat (1) UU 3/2020 tentang Perubahan UU 4/2009 tentang Minerba, disebutkan secara eksplisit bahwa setiap orang yang IUP atau IUPK dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan reklamasi dan/atau pascatambang; dan/atau penempatan dana jaminan reklamasi dan/atau dana jaminan pascatambang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 100 miliar rupiah.
“Siapapun yang abai dengan kewajiban ini, jelas adalah kejahatan yang berkonsekuensi pidana termasuk pemimpin daerah seperti Gubernur yang diam dan abai atas peristiwa ini,” tegas Herdiansyah Hamzah.
Bahkan dalam ketentuan Pasal 164 UU a quo, pelaku tindak pidana juga dapat dikenai “hukuman tambahan” berupa perampasan barang, perampasan keuntungan dan kewajiban membayar biaya yang ditimbulkan akibat tindak pidana tersebut.
“Batas waktu pun diatur, apalagi CV Arjuna sudah bertahun-tahun sudah tidak beroperasi lagi, lalu mengapa lubang tambangnya dibiarkan menganga tanpa reklamasi dan pemulihan?!,” tambah Buyung Marajo Pokja 30 dan Fathul dari LBH Samarinda.
Dikutip dari JATAM Kaltim tercatat, di Kalimantan Timur ancaman lubang tambang masih menghantui karena secara keseluruhan masih ada 1.735 lubang bekas tambang. Di Kota Samarinda sendiri terdapat 349 lubang bekas tambang yang dibiarkan menganga tanpa reklamasi dan pemulihan yang menjadi bom waktu sebagai salah satu persoalan serius yang tak mendapat perhatian serta tindakan dari pemerintah.
Sedangkan menurut data JATAM Nasional, sejak 2014 hingga 2020 total sudah 168 korban lubang tambang yang nyawanya melayang di seluruh Indonesia dan masih terancam 3.092 lubang tambang yang masih menganga, berisi air beracun dan mengandung logam berat bahkan berada di dekat kawasan padat pemukiman sehingga menjadi ‘bom waktu’.
Massa Aksi dan Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Moratorium Pertambangan Batubara di Indonesia, mencabut izin perusahaan dan mendorong penegakan hukum serta sanksi bagi CV Arjuna dan perusahaan pertambangan batubara lainnya yang melanggar reklamasi. Pengabaian oleh pemerintah seperti Gubernur Kaltim dan Walikota Samarinda juga mesti disorot.
Kasus tewasnya anak-anak di Lubang Tambang di Indonesia merupakan gambaran buruknya tata kelola lingkungan hidup dan pertambangan Batubara di Indonesia, Presiden Joko Widodo dan Gubernur Kaltim Isran Noor dituding sebagai dua pemimpin pelindung batubara, meskipun pemerintah baru saja berpidato tentang komitmen pada lingkungan hidup dan iklim di Konferensi Iklim COP 26 Glasgow kemarin. Karena Jokowi masih meletakan Indonesia dan Kaltim sebagai negara dan provinsi yang melestarikan energi maut ini, sebagai penyumbang utama emisi dan penyebab anak-anak tewas di lubang tambang.(*)