KUTAI TIMUR – Fraksi Rakyat Kutai Timur menuntut Pemerintah untuk merealisasikan pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan membatalkan SK Bupati Kutim tahun 2015 No 130/K 905/2015 tentang perubahan batas desa.
Tak cukup sampai disitu, aksi damai yang diikuti oleh belasan pemuda tersebut juga meminta adanya pencabutan izin perusahaan pengrusak lingkungan hidup serta evaluasi ekstensif penyelenggaraan pemerintahan di Bukit pelangi.
Hal tersebut disampaikan melalui press release terhadap awak media oleh koordinator lapangan aksi damai, Ikhwan Abbas, melalui humas aksi, Rizal, dalam aksi di Simpang Pendidikan, Teluk Lingga, Kecamatan Sangatta Utara yang dilaksanakan bertepatan dengan peringatan HUT ke-22 Kutim, Selasa (12/10/2021).
“Bagi kami, kondisi daerah yang carut marut sekarang adalah akibat tata kelola pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat dan biaya pemilu yang mahal,” katanya.
Lebih lanjut, aksi tersebut juga dilaksanakan akibat di usia Kabupaten Kutai Timur yang ke-22, Pemerintah Daerah juga dinilai masih kurang transparan dan dinilai masih saja tidak mampu menyelesaikan persoalan masyarakat, seperti masyarakat adat Dayak Modang di Kecamatan Busang. Mereka berjuang untuk merebut kembali hak tanah leluhur mereka yang direnggut paksa dengan dalih pembangunan dan kesejahteraan.
Pemandangan senada juga terjadi di Kars Sangkulirang-Mangkalihat yang dihancurkan dan sumber mata air dirusak oleh korporasi.
“Di kabupaten mereka berpesta, masyarakat di desa mereka biarkan menderita. Oleh karena itu, kami kelompok masyarakat yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Kutai Timur menuntut Pemerintah untuk merealisasikan 3 poin yang menjadi tuntutan,” jelasnya.
Untuk diketahui, dalam aksi tersebut, pengamanan dan pengawalan disertai rekayasa lalu lintas untuk meminimalisir dampak dari adanya aksi damai tersebut juga dilaksanakan oleh Polres Kutim yang menerjunkan langsung sekira 20 personel gabungan dari Satlantas dan SatSabhara Polres Kutim.